_ I Hope, you like it :)
Langit yang tadinya mendung kini mulai
menumpahkan seluruh bebannya. Tak ada pilihan lain, aku harus segera mencari
tempat untuk berteduh. Dan akhirnya aku memutuskan untuk singgah sejenak di
salah satu rumah warga dan berteduh di terasnya untuk menunggu hujan berhenti.
Aku mendesah. Sesekali aku mengumpat kesal
karena hujan yang datang di saat yang tidak tepat seperti ini. Hari ini aku
harus segera ke bandara. Dan tak mungkin aku berhujan-hujanan karena tubuhku
yang rentan terhadap penyakit. Kekesalanku terhadap Acha, adik perempuanku,
yang membawa mobilku untuk hang
out bersama temannya tanpa
meminta izinku semakin memuncak. Aku harus segera menuju jalan besar untuk
menyewa taksi. Aku hanya dapat berharap agar ada taksi yang tengah membawa
penumpang dan memasuki perumahan kompleks rumahku.
Tapi bagaimana pun, aku senang memandangi
hujan. Karena dengan memandangi hujan, aku jadi bisa mengingat semua putaran unforgettable sweet moment-ku
dengan Dicky. Sosok lelaki yang sangat berarti dalam hidupku.
Hujan yang tak disangka-sangkanya turun di
pagi hari mulai membawaku ke dalam putaran memoriku dengan Dicky. Memori
terindah dalam hidupku~
~Pagi yang cerah menemaniku dalam menjalani
rutinitas pagiku. Dimulai dari hal yang tak bisa untuk dilewatkan: sholat subuh
lalu mandi, berpakaian, dan sarapan. Semuanya kujalani dengan semangat.
Setelah sarapan dan berpamitan dengan
Papaku. Aku pun segera keluar dari rumah dan otomatis saja tersenyum kepada
sosok cowok yang sudah menungguku di depan gerbang. Dicky.
“Kenapa nggak masuk aja, sih?” tanyaku
sambil berjalan menuju gerbang dan membuka gerbang yang tidak terkunci itu
ketika aku sudah sampai.
Dicky menggeleng singkat. “Never mind,
Dear. Tadi kebetulan ketemu sama temen lama, kok. Jadi nggak bosan nunggu.
Bersamaan aja tadi kamu datengnya sama perginya dia.” Jelasnya yang diikuti
dengan anggukan kepalaku tanda mengerti dengan ucapannya.
“Ayo! Ini sudah pukul setengah 7 pagi.
Beberapa menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Aku nggak mau terlambat lagi
seperti kemarin gara-gara kamu yang ngaret.” Sindir Dicky yang diselingi dengan
tawa kecilnya.
Sesaat aku sempat mendengus kesal tapi
kemudian menurut dengannya. Aku nggak mau terlambat ke sekolah. Apalagi
perjalanan ke sekolahku itu memakan waktu sekitar 10 menit. 10 menit itu kurung
waktu kalau jalan kaki, lho! Ya! Aku dan Dicky memang tetanggaan dan biasanya
jalan bareng ke sekolah. Sebenarnya Dicky punya motor yang tentu saja bisa ia
pakai kemanapun ia mau pergi itu. Tapi ini dia masalahnya, Dicky masih belum
cukup umur (16 tahun) buat punya SIM. Dan di dekat sekolah kami, ada pos polisi
yang di pos itu, ada polisi yang doyan banget nilang para murid yang suka bawa
kendaraan ke sekolah tapi belum punya SIM.
Ngomongin soal Dicky, Dicky itu adalah
teman dekatku sejak kecil dan udah tetanggaan juga dari dulu. Dan seiring
berjalannya waktu bersamaku dengan Dicky, muncullah perasaan yang kami takutkan
dari dulu. Perasaan layaknya rasa suka antar lawan jenis. Dan akhirnya
takdir-lah yang menyatukan kami kedua menjadi sepasang kekasih. Dan resmi
berpacaran sekitar 2 bulan yang lalu. Walaupun suka berantem yang memang sudah
menjadi ‘hobi’ kami saat masih berstatus sebagai sepasang sahabat, tapi kami
dapat dengan cepatnya baikan. Rekor terlama ‘marahan’ kami adalah hanya selama
sehari saja. Itupun udah bikin aku sama Dicky tersiksa berat semalaman. Maka
dari itu besoknya kita langsung baikan lagi.
_
Akan kulakukan, semua untukmu~
Akan kuberikan, seluruh cintaku~
Janganlah, engkau berubah~
Dalam menyayangi, dan memahamiku~
Aku tersenyum. Saat yang membuatku sangat
bahagia adalah ketika Dicky mulai bernyanyi untukku. Dengan suaranya yang
indah, ia dengan tulus menyanyikan lagu RAN – Kulakukan Semua Untukmu. Lagu
yang benar-benar memiliki arti cinta yang sangat tulus~
Dicky menyelesaikan nyanyiannya yang
ditutup dengan petikan terakhir pada gitarnya.
"Thank you." ucapku tulus
pada Dicky yang diikuti dengan senyum manisnya.
"You’re welcome. Now is your turn to sing a song for
me!” ujar Dicky setengah meminta.
“Dicky..” desahku. “Aku, kan, sudah bilang
kalau aku sudah tak ingin bernyanyi lagi?” ucapku mengingatkan.
Aku teringat dengan almarhumah Ibuku yang
dulu ketika masih hidup adalah seorang penyanyi internasional. Mama pun
mengajariku teknik bernyanyi yang baik yang memang menyadari bakat bernyanyiku
yang turun darinya. Bimbingan sang Mama yang memang sudah benar-benar diakui
sehingga akhirnya membuatku ikut terkenal dengan bakatku yang semakin matang
karena Mama. Aku paling sering diandalkan oleh para guru jika ada perlombaan
menyanyi atau untuk mengisi acara-acara sekolah. Tak jarang aku mendapat
tawaran manggung untuk acara-acara music di TV.
Tapi, ketika Mama meninggal akibat
kecelakaan pesawat yang mengantar Mama menuju Brazil karena diundang untuk
mengisi sebuah acara talk show di sana, semangatku untuk menjadi seorang
penyanyi internasional seperti Mama seketika menghilang. Aku menjauhkan diri
dari dunia bernyanyi dan memilih untuk fokus pada pelajaran di sekolah.
Walaupun semua orang yang menyayangiku tak henti-hentinya menyemangati dan
menghiburku, aku tetap diam. Aku merasa hanya membutuhkan dukungan Mama.
Aku juga merasa sangat sedih ketika harus
mengecewakan semua orang yang telah mendukungku, para keluarga, teman-teman,
guru-guru, para penggemarku, dan juga Dicky. Tapi keputusanku sudah bulat
sempurna. Dan bagaimanapun, jika aku kembali dalam dunia bernyanyi, aku tak
yakin responnya akan seramai dulu. Mungkin saja aku malah dikucilkan karena
dianggap penyanyi “plin-plan” yang bisa seenaknya saja keluar masuk dunia
entertainment.
“Kau, kan, hanya bilang kalau kau ingin
menjauh dari dunia bernyanyi. Nah, apa susahnya nyanyiin satu lagu aja buat
aku? Hm.. setidaknya bagian reff lagu Unbelievable-nya Craig David aja!”
mintanya yang menyebutkan judul lagu yang merupakan lagu favorit kami berdua.
Lagu yang sering kami nyanyikan bersama dulu. 2 tahun lalu sebelum Mamaku
meninggal.
Aku mengambil tas selempangku yang
kuletakkan di atas panggung dan bersiap-siap untuk keluar dari aula musik
SMA-ku.
“Menyanyi pun aku sudah tak punya niat
lagi..” ucapku sambil melangkahkan kakiku menuju pintu keluar.
“Andien!” Dicky beranjak dari tempatnya dan
berlari untuk segera mencegatku yang hampir saja keluar aula musik yang besar
dan megah ini. “Yah.. Kok ngambek, sih!” Dicky menahan tanganku.
Aku menggerutu kesal. Aku berusaha
melepaskan tangan Dicky yang menahan lenganku untuk tidak pergi. Tapi aku bukan
tandingan Dicky.
“Aku nggak suka kalau kau
menyingung-nyinggung masalah itu lagi! Cukup dengan kau menyanyikanku sebuah
lagu untukku, aku tak ingin mendengar masalah nyanyi-menyanyi lagi!” kataku
sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari lenganku. Tapi kini Dicky
menarik lenganku dan bergantian memegang kedua tanganku. Kini aku berhadapan
dengannya.
“Aku hanya ingin kau kembali..” Dicky
menatap mataku dalam-dalam yang membuatku gugup setengah mati. Walaupun aku
sudah bersama Dicky selama belasan tahun, tapi aku masih tak kuat menatap
tatapan matanya yang tajam tapi teduh itu.
“Dicky, please.
Aku sungguh nggak mau menyinggung hal ini lagi! Tolong mengerti perasaanku..”
Dicky mendesah. Ada sorot kekecewaan dalam
matanya. “Okey. Maafkan aku. Kau sudah ingin pulang? Ini…” Dicky melirik jam
tangannya. “Ini sudah jam 4 sore.”
Sesaat aku masih sedikit kesal dengan
Dicky. Tapi kemudian emosiku mereda. Aku mengangguk.
“Okey.. Wait
a minute!” Dicky berlari menuju panggung aula musik dan mengambil gitarnya
lalu memasukkannya ke dalam tas gitarnya dan menentengnya. Setelah itu, barulah
kami berjalan bersama-sama keluar dari aula musik SMA kami.
_
“Andien!!”
Sebuah suara memanggilku dari belakang.
Spontan aku menoleh dan mendapati Rangga, sang ketua kelas, berlari-lari sambil
memanggil-manggil namaku.
Aku pun berhenti dan menunggu Rangga sampai
di hadapanku.
“Ada apa?” tanyaku saat Rangga sudah berada
di hadapanku sambil terengah-engah pelan.
“Hei! Lagi mikirin apa, sih? Daritadi aku
panggil kok nggak noleh-noleh?” Rangga menggerutu kesal.
“Jinjja?" kataku yang mengikuti
gaya orang Korea di drama-drama yang sudah kunonton. "Mianheyo! Aku
beneran nggak denger sama sekali. Kepalaku mumet nih abis ulangan Fisika tadi.”
aku meminta maaf.
“Yaelah.. Satu kelas juga kepalanya pada
mumet kali gara-gara ulangan Fisika tadi! Kecuali si Reza yang ahli Fisika.
Nggak ada masalah tuh buat dia sama sekali..” Rangga malah ngomongin soal
Fisika.
“Hm.. Sebenarnya ada apa, sih?” aku
mengalihkan pembicaraan mengingat aku yang lagi ditungguin sama Dicky di kelasnya.
“Kamu dipanggil sama Kak Rafael tuh! Di
ruang musik.”
“Buat apa?” tanyaku bingung. Soalnya baru
kali ini Kak Rafael, selaku pembimbing grup vokal, memanggilku sejak pengumuman
keputusanku yang memilih untuk menjauh dari dunia bernyanyi.
Rangga menggaruk-garuk rambut belakangnya.
“Hm.. hm..” Rangga menggumam bingung. “Hm.. kesana aja, deh! Nanti kamu akan
tahu! Ayo! Dicky juga ada di sana.”
Akhirnya aku menurut saja. Aku mengekori
Rangga dari belakang menuju ruang musik yang memang sudah tak jauh lagi dari
tempat kami tadi. Akhirnya kami pun sudah sampai dan segera masuk ke ruang
musik.
Ruang musik SMA ku cukup besar. Semua
jenis alat musik sudah tersedia di ruang musik ini. Fasilitasnnya juga cukup
lengkap. Mulai dari ruangan yang ber-ac sampai buat rekaman pun bisa.
Di sana tampak sudah ada Dicky yang berdiri
sambil bersandar di dinding yang di sampingnya juga sudah ada Kak Rafael yang
sedang duduk di sofa panjang. Beliau tampak memikirkan sesuatu sampai akhirnya
tersadar ketika melihat kedatangan kami.
“Ehh Andien! Sini duduk di samping saya!”
Kak Rafael menepuk-nepuk sofa di sampingnya.
Aku hanya menurut dan melirik Dicky yang
menyorotkan raut wajah yang bingung.
“Kenapa, Kak?” tanyaku ketika aku sudah
duduk di samping beliau sementara Rangga yang ikut berdiri sambil bersandar di
samping Dicky.
“Hm.. Maaf sebelumnya. Tapi, tolong wakili
sekolah kita dalam lomba menyanyi tingkat SMA tahun ini.” Kak Rafael memohon.
Aku benar-benar terkejut. Marah, kesal,
kecewa, sedih dan cemas bercampur jadi satu. Marah dan kesal karena Kak Rafael
memintaku untuk mewakili SMA untuk mengikuti lomba menyanyi yang tentu saja
akan aku tolak tanpa berpikir sejenak-pun. Kecewa karena Kak Rafael mengingkari
janjinya yang ia sebut 2 tahun lalu yang mengatakan bahwa ia benar-benar tak
akan menyinggung masalah bernyanyi lagi denganku ketika aku ngambek berat saat
Kak Rafael terus membujukku untuk kembali. Sedih karena aku jadi teringat
almarhumah Mamaku. Dan terakhir cemas karena takut kalau Kak Rafael benar-benar
akan memaksaku untuk ikut.
Belum sempat aku menolak, Kak Rafael sudah
memohon lagi. “Tolonglah! Tahun kali ini saja! Setelah itu, aku benar-benar
berjanji untuk tidak menyinggung masalah bernyanyi lagi denganmu!”
“Kak.. Kenapa mesti aku? Kan ada Rangga.”
ucapku sambil menoleh pada Rangga. Rangga yang sekaligus ketua kelasku juga
merupakan andalan sekolah semenjak aku tak berhubungan lagi dengan bernyanyi.
Suara Rangga begitu jernih dan indah. Tapi bagaimana pun, semua murid maupun
guru tetap menomorsatukanku dalam bakat bernyanyi.
“Tidak bisa! Lombanya akan dilaksanakan
pada tanggal 6 April. Bulan depan. Tapi pada tanggal itu, aku akan berangkat ke
Inggris dan akan melakukan trainee selama setahun di sana.” Rangga menjelaskan.
“Trainee apa?”
“Aku kan sempat memenangkan lomba bernyanyi
bulan lalu. Dan salah satu juri di sana benar-benar suka pada suaraku dan
menawarkanku untuk mengikuti trainee di Inggris yang langsung dilatih
oleh seorang musisi yang memang sedang mencari penyanyi berbakat. Setelah
melalui trainee itu, maka aku akan benar-benar
masuk ke dunia bernyanyi dan diakui. Aku juga akan berada di bawah naungan Star
Music UK Management!” Rangga tersenyum bangga.
Aku terkejut dan kemudian semakin terkejut
ketika Rangga menyebut salah satu Management yang merupakan management yang
sangat bergensi di Inggris. Aku jadi merasa kagum dan kemudian sadar bahwa
Rangga memang berhak mendapatkannya karena memang suara emasnya itu memang
benar-benar sangat memukau.
Seketika pikiranku menjadi melayang saat
aku juga ditawarkan untuk mengikuti trainee itu yang akan berakhir dalam
naungan Star Music UK Management. Saat itu aku benar-benar sangat senang
apalagi ketika Mama mengatakan bahwa ia akan ikut menemaniku di Inggris dalam
masa trainee. Keluarga,
teman-teman, dan juga Dicky turut mendukungku. Keberangkatanku ke Inggris
tinggal 2 minggu lagi saat Mama tiba-tiba dipanggil ke Brazil untuk menghadiri
undangan acara talk show.
Tapi pesawat yang Mama tumpangi kecelakaan dalam perjalanan ke sana dan tak ada
satu pun penumpang yang selamat.
Saat itu aku benar-benar shock. Aku tak
punya semangat hidup lagi. Bahkan sempat aku mencoba untuk bunuh diri tapi
Dicky datang dan menyadarkanku. Aku tahu kalau saat itu aku benar-benar terlalu
shock dan kehilangan kendali. Untung saja saat itu ada Dicky. My Guardian
Angel.
“Sialan kamu, Ngga! Nggak kabarin berita
sebaik ini ke aku! Tapi, Selamat, ya, Ngga!” aku menyalaminya.
“Makasih!” Rangga membalas salamanku.
“Jangan lupa kirim e-mail, ya!"
“Hey.. hey! Belum saatnya untuk ngucapin
hal itu! Aku berangkatnya masih sebulan lagi!” Rangga mengacak-ngacak rambutku.
Kami tertawa bersama.
“Ehemm..” Kak Rafael dan Dicky dengan
kompak berdehem keras. Sesaat mereka saling bertatapan. Kaget karena mereka
berdehem secara bersamaan. Maksud Kak Rafael berdehem adalah karena aku dan
Rangga malah asik ngobrol dan ngelupain masalah lomba bernyanyi bulan depan dan
Dicky berdehem karena cemburu melihat kami berdua.
“Ciyeee.. Barengan!” canda Rangga yang
membuat aku tertawa terbahak-bahak sedangkan Kak Rafael dan Dicky hanya
menunjukkan wajah protes.
“Udah.. udah! Ayo balik ke inti!” Kak
Rafael mengembalikan suasana serius. “Jadi, Andien.. Tolong, yah!”
“Kak.. aku benar-benar nggak bisa..” aku
yang tadi ceria kini menjadi kembali loyo lagi. Sesaat aku melirik Dicky yang
menatapku penuh harap.
Seakan mengerti maksudku. Kak Rafael pun
berkata, “Dicky juga nggak mau ngikutin lomba itu. Padahal suaranya cukup
bagus.. Jadi, tolong.. Setidaknya sekali ini saja!” Kak Rafael tak pantang
menyerah untuk membujukku ikut. Padahal bagaimana pun, jawabanku akan tetap
sama, ‘aku nggak bisa’.
Aku benar-benar merasa tubuhku sangat
lunglai. Aku memegangi kepalaku dan memijatnya pelan. Aku bingung apa yang
harus aku lakukan. What must I
do? What must I do? What must I do?. Pertanyaan itu terus menerus terulang
dalam benakku.
“Biar aku saja!” tiba-tiba suara Dicky
terdengar dengan agak keras. Aku, Kak Rafael, dan Rangga spontan menoleh ke
arah Dicky. “Biar aku saja..” Dicky mengulangi ucapannya.
Rasa haru seketika menyerangku. Aku tahu
bahwa Dicky melakukannya untukku.
Aku menatapnya dengan sorotan mata seakan
berterima kasih. Dan Dicky membalasnya dengan senyum termanisnya.
“Tadi kau menolak tawaran Kakak dengan
mentah-mentah. Dan sekarang kamu malah mengatakan bahwa kau akan mengikuti
lomba itu..” Kak Rafael memiringkan alisnya. Tersirat pertanyaan ‘mengapa’
dalam kalimatnya.
“Aku berubah pikiran. Aku rasa bahwa aku
harus mencobanya.”
_
Seminggu kemudian..
Always said I would know where to find love
Always thought I'd be ready and strong
enough
But sometimes I just felt I could give up
But you came and you changed my whole world
now
I'm somewhere I've never been before
Now I see, what love means
[Chorus] It's so unbelievable
And I don't want to let it go
Something so beautiful
Flowing down like a waterfall
I feel like you've always been
Forever a part of me
And it's so unbelievable to finally be in
love
Somewhere I'd never thought I'd be
In my heart, in my head, it's so clear now
Hold my hand you've got nothing to fear now
I was lost and you've rescued me somehow
I'm alive, I'm in love you complete me
And I've never been here before
Now I see, what love means
[Chorus] It's so unbelievable
And I don't want to let it go
Something so beautiful
Flowing down like a waterfall
I feel like you've always been
Forever a part of me
And it's so unbelievable to finally be in
love
Somewhere I'd never thought I'd be
When I think of what I have, and this
chance I nearly lost
I can’t help but break down, and cry
Ohh yeah, break down and cry
[Chorus] It's so unbelievable
And I don't want to let it go
Something so beautiful
Flowing down like a waterfall
I feel like you've always been
Forever a part of me
And it's so unbelievable to finally be in
love
Somewhere I'd never thought I'd be
Now I see, what love means…
Dicky menyelesaikan lagunya dengan sempurna
yang juga ditutup dengan petikan terakhir gitarnya. Baru seminggu Dicky
berlatih untuk persiapan lomba yang akan diikutinya, Dicky sudah seperti
seorang penyanyi profesional. Bagaimana tidak? Selain Dicky yang suaranya nggak
diragukan lagi, pensyaratan lomba juga mengijinkan para peserta memilih lagu
bebas dan bisa menggunakan instrumen musik sesuka kita.. Tentu saja Dicky
langsung memilih lagu Unbelievable – Craig David yang merupakan lagu favorit
kami berdua dan juga akan ia iringi dengan permainan gitarnya. Mulai dari SMP
kami senang menyanyikan lagu itu berdua. Bahkan kami memiliki video cover lagu
Unbeliavable yang ketika kami
unggah di situs upload/download video dunia, YouTube, video kami langsung
kebanjiran jutaan viewers yang meninggalkan jejak jutaan like dan ribuan
komentar. Tanpa ada yang dislike.
Lagu itu juga yang Dicky nyanyikan untukku
ketika ia menyatakan perasaan sukanya padaku. Sungguh lagu yang penuh kenangan.
“Kau benar-benar sudah seperti seorang
penyanyi, Dicky..” ucapku padanya. Sambil berdiri dari kursiku dan mendekatinya
yang baru saja menyelesaikan lagunya langsung di atas panggung. Aku memang
sengaja untuk menyuruhnya langsung bernyanyi di atas panggung aula musik
sekolah agar ia dapat terbiasa dan tak perlu gugup ketika lomba nanti. Hal ini
berdasarkan pengalamanku ketika pertama kali aku bernyanyi di atas panggung,
aku sungguh merasa gugup yang membuat penampilan pertamaku terkesan buruk. Saat
itu Mama hanya menepuk-nepuk pundakku dan membawaku ke gedung musik yang
merupakan tempat Mama sering melatih vokalnya dan biasa pula tampil jika ada
acara yang diadakan di gedung itu. Disitulah Mama melatih mentalku untuk dengan
bernyanyi langsung di atas panggung dan ketika aku tampil di penampilan
keduaku, hasilnya benar-benar baik karena aku merasa tak gugup sama sekali.
“Bukankah aku memang seorang penyanyi? Aku
selalu bernyanyi untukmu..” Dicky tertawa kecil.
Aku memukul lengannya pelan. “Hey.. Maksudku
penyanyi yang mengisi acara-acara musik, menghibur fans, diasuh oleh
Management, atau lain-lain..” aku menjelaskan.
“I don’t want to be a singer."
kata Dicky lirih. "Aku kan sudah berkali-kali mengatakan alasannya
padamu..”
“Ya, ya! I know! Kau bilang kalau kau tak ingin menjadi
seorang penyanyi karena tak mau mengingatkanku pada almarhumah Mamaku yang dulu
seorang penyanyi. But really,
I don’t ask you to do that for me! Aku
tidak ingin menjadi penghalang bagimu untuk mencapai impianmu itu!”
“Aku tak bermimpi untuk menjadi seorang
penyanyi! Aku ingin jadi seorang peneliti!” sanggah Dicky. Jelas sekali kalau
ia berbohong.
“Menjadi peneliti hanyalah pelarianmu
saja!” kataku dengan nada tinggi. “You can’t tell a lie to me! I know you! I
know you so well! So, just reach your dream! Tak
usah memikirkan perasaanku! Really,
aku baik-baik saja dengan hal itu!”
Dicky mendesah panjang. Ia lalu memegang
pundakku. “Aku juga baik-baik saja dengan hal itu.” Dicky menyunggingkan senyum
di bibirnya.
Aku mengalihkan pandanganku. Dicky terlalu
memikirkan perasaanku. Aku sudah menjelaskan bahwa aku malah mendukung impian
yang pernah ia sebut sebelum insiden kecelakaannya pesawat yang tumpangi Mama.
Ia mengatakan bahwa ia akan menjadi seorang penyanyi internasional dan menyenangkanku.
“Forget it.. Lanjutkan latihanmu.”
Aku meminta Dicky ketika merasa canggung dengan jangka waktu diam-diaman kami
yang berlangsung lama.
Dicky menggeleng. “Tidak. Aku rasa
latihanku untuk hari ini sudah cukup. Kau juga sudah menunggu lama. Ayo, ini
sudah hampir malam. Hm.. Oya! Bagaimana kalau kita makan malam bersama dulu?
Ada restoran seafood yang ingin kudatangi denganmu.”
“Sudahlah. Aku lelah. Aku rasanya ingin
istirahat saja di rumah.”
Dicky menunduk. Sedikit kecewa dengan
penolakanku terhadap ajakannya.
“Okey. Sorry, i don’t know if you’re tired.
Aku baru mengerti. Kau pasti lelah karena telah menemaniku berlatih dari
sepulang sekolah tadi. Ayo! Kita pulang!”
_
Aku mengusap air mataku dengan selembar
tisu. Entah angin apa yang membuat aku mengingat Mama. Bayang-bayang Mama yang
sedang melatihku bernyanyi seperti terputar di hadapanku. Aku sungguh
merindukan sosoknya yang selalu menemaniku menjalani hari-hariku. Membuatkan
masakan kesukaanku, membersihkan lukaku, menemaniku ketika aku tampil di sebuah
acara jika beliau tak sibuk, memberikan semangat padaku..
Tiba-tiba bayangan Mama yang tadinya
terlihat melatihku bernyanyi, kini berubah. Hanya sosok Mama yang terlihat
menghadapku sambil tersenyum padaku. Dan beliau berkata, “Tidak seharusnya kau seperti
ini, Sayang. Kau tak seharusnya seperti ini. Kau tak perlu menjauhkan dirimu
dengan dunia bernyanyi. Lanjutkan mimpimu. Jangan berhenti di sini. Jangan
mengatakan bahwa kau hanya menginginkan dukungan Mama. Itu sama saja kalau kau
membuang semua dukungan pihak lain. Jangan kecewakan mereka. Terutama Dicky..”
Aku menangis tersedu-sedu. Aku terisak
hebat.
“I’m sorry, Ma.. Aku.. aku tahu aku
salah.. Tapi inilah keputusanku.” Ucapku di sela-sela tangisku.
“Kau belum cukup dewasa, Sayang. Kau belum
bisa menentukan mana keputusan yang benar. Mama harap kau bisa cepat dewasa
agar kau bisa memilih keputusan yang benar.”
Dan bayangan Mama seketika menghilang.
“Mama! Don’t
leave me alone!!!” aku berteriak keras.
“No, Honey. You’re not alone. You still have..Dicky.” suara
Mama kembali terdengar. Hanya suara. Tak ada sosok Mama lagi.
_
“Mamaa!!!”
Aku berteriak keras. Kini aku sadar. Aku
bermimpi. Tapi mataku benar-benar basah. Wajahku merah. Aku benar-benar ikut
menangis di alam kesadaranku.
Aku menemukan diriku sedang duduk bersandar
di samping tempat tidur. Aku ingat. Semalam aku benar-benar merasa sangat rindu
dengan Mama dan tertidur dengan keadaan duduk dengan kedua tangan yang memeluk
kedua lututku dan menenggelamkan wajahku di lututku.
Kini aku merasa sangat merindukan Dicky.
Dicky. Sosok yang sangat berarti dalam hidupku. Aku merindukannya. Sangat
merindukannya.
Tak sadar aku membuka mulutku dan
menyanyikan lagu favoritku dengan Dicky. Inilah untuk yang untuk pertama
kalinya aku kembali bernyanyi sejak insiden 'mengerikan' 2 tahun yang lalu.
Aku menyanyikan lagu itu mulai dari awal
sampai akhir. Aku sungguh merindukan diriku yang bernyanyi.
Now, I see.. What love means..
Aku melantunkan kalimat terakhir lagu itu.
Dan kemudian aku menangis lagi..
_
Dicky sungguh terkejut ketika mendengar
Andien bernyanyi. Ia ternyata diam-diam mendengar Andien bernyanyi dari balik
pintu kamar Andien. Tak sadar ia tersenyum. Ia tahu pasti, tak lama lagi,
Andien akan berubah. Andien akan mulai bernyanyi lagi.
_
Besok adalah hari dilaksanakannya lomba
bernyanyi itu. Dicky terlihat gugup dengan sangat jelas. Aku menepuk-nepuk
bahunya. Persis dengan hal yang dulu dilakukan Mama jika aku gugup sebelum
tampil.
“Perlombaannya besok. Tapi, kau sudah terlihat sangat gugup
hari ini..” ucapku.
“Hey! Aku bukannya gugup! Aku hanya
khawatir kalau aku tak dapat bernyanyi dengan baik besok. But, you know! This is my the first
perfomance on the real stage!!”
“Jadi selama ini kau anggap tempat kau
selalu berlatih apa? Kau pikir itu bukan panggung? Hanyalah lantai biasa?”
“Not like that.. Ahh, you really don’t understand..”
“Ahh sudahlah.. Kau akan bernyanyi dengan
sangat baik besok kalau kau tak gugup..”
“Heyy! Aku benar-benar tak gugup sama
sekali!” sanggahnya kesal. “Aku kan sudah berlatih di atas panggung sesuai
rekomendasimu! Jadi aku benar-benar tidak merasa gugup!”
Aku menyandarkan tubuhku di sofa empuk yang
berada di ruang musik.
“Tetap saja kalau kau gugup..” aku masih
tak ampun-ampunnya menggoda Dicky.
Dicky sudah ingin menyanggah perkataanku
lagi tapi tak jadi ketika Kak Rafael tiba-tiba muncul di hadapan kami.
“Kalian belum pulang juga? Ini sudah larut.
Terutama kau Dicky! Setelah latihan yang keras selama sebulan ini, seharusnya
kau mengistirahatkan tubuhmu agar kau bisa bernyanyi dengan segar besok
sehingga penampilanmu baik. Ayo! Aku antar pulang kalian berdua!”
Kak Rafael memberikan kami tumpangan sampai
di rumah. Tiba di depan rumahku, Kak Rafael memberhentikan mobilnya. Aku dan
Dicky yang duduk di belakang pun segera turun.
“Ingat! Kau harus istirahat malam ini!
Jangan pikirkan soal lomba besok! Kosongkan pikiranmu. Tenangkan seluruh
pikiranmu. Istirahatlah malam ini! Jangan pacaran terus!!” Kak Rafael
menekankan kalimat terakhir.
“Siap, Kak! Tenang aja! Masih ada waktu
buat kami berdua di hari-hari selanjutnya!” Dicky duluan membalas perkataan Kak
Rafael.
“Oke. Aku benar-benar berharap kau
menjalani semua ucapanku tadi. Baiklah! Ini benar-benar sudah larut! Kakak
pergi duluan. Bye!” Kak
Rafael melambaikan tangannya dari dalam mobilnya dan mulai berlalu.
“Oke! Please
take a rest, Dicky! Ikuti saran-saran Kak Rafael tadi!” ucapku
mengingatkan.
“Ya. Aku akan mengikuti semua saran Kak
Rafael tadi. Please enter, and take a rest too. Besok kita
berangkat bersama.”
“Oke! Aku masuk dulu, ya! Dahh..” aku
melambaikan tanganku ke arah Dicky sambil tersenyum ke arahnya sebelum akhirnya
aku masuk menuju pekarangan rumahku setelah Pak Ali membukakan pagar untukku.
_
Dan tibalah hari disaat Dicky akan
berlomba. Hari itu cuaca kurang mendukung. Diluar sana hujan lumayan deras.
Itulah mengapa hari ini aku harus mengenakan jaket yang lumayan tebal karena
dinginnya udara.
“Nomor 16..” seorang MC menyebutkan nomor
16 dari atas panggung. Seorang gadis dengan penampilan menarik terlihat masuk
ke dalam lorong yang terhubung menuju panggung. Perempuan itu terlihat sangat
percaya diri. Tak ada rasa gugup sama sekali yang terlihat dari wajahnya.
Sangat berbeda dengan pemuda yang berada di sampingku ini.
“You look so nervous, Dicky..”
ucapku. “Mau kubelikan minuman?” aku menawarkan. Aku jadi merasa cemas kalau
Dicky tak bisa beryanyi dengan baik kalau ia gugup seperti ini. Setidaknya
dengan meminum minuman yang dingin-dingin, Dicky akan merasa sedikit segar.
Dicky melirikku yang duduk sedari tadi di
sampingnya sambil ikut menunggu gilirannya. “Hm.. Biar aku saja..” Dicky
berdiri dari tempat duduknya.
“Apa? Hey! Kau harus menyelesaikan tugasmu
dulu di sini!” gertakku.
“Ahh.. Come on! See? I’m number 22!”
Dicky menunjuk angka yang tertera di kertas yang tertempel di seragam putih
sekolahnya. “Dan masuk nomor 20 saja belum. Tentu aku masih punya banyak waktu!
Tak butuh waktu lama, kok! Keluar gedung semenit, nyebrang jalan semenit, beli
minuman di seberang jalan semenit, kembali semenit.” Dicky menghitung-hitung.
“Lagipula, aku sepertinya juga butuh jalan-jalan sebentar. Aku mungkin jadi
bisa menghilangkan sedikit rasa gugupku..”
“Oh.. jadi sekarang kau mau mengaku kalau
kau memang gugup? Hahahaa..” aku tertawa garing. “Sudahlah.. diluar kan lagi
hujan.. Biar aku saja.”
“Aku malah akan lebih tidak membiarkanmu
berhujan-hujanan untuk membelikanku minuman. Tubuhmu itu kan gampang sakit..”
kata Dicky sedikit mengejek.
Aku terdiam. Benar juga.
Dicky melepaskan jaket yang dikenakannya.
“Jaket ini bisa berperan sebagai payung..”
Aku mendesah. Aku tahu Dicky memang sangat
keras kepala. Sifatnya itu ia memang sudah ia bawa dari kecil. “Okey!
Kembalilah dalam waktu 5 menit! Jangan lupa membelikanku minuman juga!” pintaku
sebelum akhirnya Dicky berlalu dan tak berapa lama sosoknya tak kelihatan lagi.
Pada saat itulah Kak Rafael malah tiba-tiba muncul, habis dari toilet.
“Dicky mana?” tanyanya. “Dia sudah masuk ke
dalam?” Kak Rafael menunjukkan wajah cemasnya.
“Tidak. Hanya keluar membeli minuman..”
jelasku.
“Ohya? Dia membelikanku minuman juga nggak?
Kebetulan aku lumayan haus juga..” tanya Kak Rafael.
Aku menggeleng. “Sepertinya Dicky hanya
membeli minuman untuknya dan untukku saja..”
“Ahh.. Anak itu.. Hanya memikirkan dirinya
dan pacarnya saja.” Kak Rafael menggerutu sementara aku hanya tertawa geli
melihatnya. “Ya sudahlah.. Kalau begitu, aku keluar membeli minuman dulu. Haus,
nih..” Kak Rafael pun ikut berlalu.
Aku mendesah panjang sambil menyandarkan
tubuhku di sandaran kursi. Mendengar salah seorang peserta sedang berlatih
menyanyi, membuatku menjadi ingin menyanyi juga. Lalu akhirnya aku membuka
mulutku dan mulai melantunkan lagu You’re Not Alone milik almarhum Michael
Jackson. Aku menutup mataku. Mencoba menyanyikan lagu itu dengan penuh
penghayatan.
“Senang rasanya bisa mendengarmu bernyanyi
lagi..” sahut sebuah suara. Otomatis aku membuka mataku dan menemukan seorang
perempuan yang sedang berdiri di depanku.
“Apa?” tanyaku pada perempuan itu. Peserta. Pikirku ketika melihat
kertas bernomor 34 yang melekat di bajunya.
“Kau Andiena Hanara, kan? Hm.. Andien?
Mantan penyanyi itu?” wajah perempuan itu terlihat berseri-seri.
Sedikit ragu aku mengangguk.
“Ternyata aku benar-benar tidak salah!”
gadis itu menyerahkan sebuah kertas dengan lirik sebuah lagu yang tercetak di
kertas itu dan sebuah pulpen dari saku kemejanya. “Bisakah aku meminta tanda
tanganmu? Aku adalah penggemar beratmu!” gadis itu sedikit histeris.
Aku melongo. Bingung. Tapi sedikit terharu
juga. Dulu aku percaya bahwa tak ada yang namanya penggemar setia. Apalagi jika
idola itu sudah keluar dari dunia entertaiment. Namun sekarang aku benar-benar
percaya. Penggemar setia itu ada.
Aku pun menandatangani kertas itu dengan
ukuran yang cukup besar. Aku juga menuliskan nama perempuan itu –yang kulihat
dari name tag di seragamnya– di bawah tanda
tanganku.
“Terima kasih,” ucapnya berseri-seri. “aku
harap kau bisa kembali lagi ke dunia entertaiment. Sudah 2 tahun aku menunggu
saat itu. Walaupun aku tak begitu yakin bahwa kau akan merubah keputusanmu.
Karena kau terlihat sangat sungguh-sungguh ketika mengumumkan keputusanmu 2
tahun yang lalu itu.” Katanya yang membuatku jadi semakin terharu. Hampir saja
aku mengeluarkan air mataku.
“Terima kasih, Finna. Tunggu saja, aku akan
kembali.” Kataku tak sadar. Aku benar-benar terkejut ketika aku menyebutkan
kalimat itu. “Insya Allah.” Sambungku cepat-cepat.
Gadis itu mendekatkan jaraknya padaku.
“Sungguh? Aku benar-benar menunggumu!”
Aku tersenyum manis padanya.
“Ngomong-ngomong. Kau sedang apa di sini?
Berlomba?”
Aku menggeleng. “Tidak, hanya menemani
seseorang yang akan ikut berlomba.”
Finna mengangguk-angguk. “Ya sudah. Aku
pamit dulu ya, Kak. Aku mau lanjut berlatih lagi..”
Aku tersenyum lagi padanya. “Oke.. Sekali
lagi, terima kasih, Finna. Aku akan selalu mengingatmu.” Kataku tulus.
“Kalau begitu, boleh kuminta nomor hp-mu?”
harapnya sambil mengeluarkan ponselnya dari saku jeansnya.
Aku mengangguk. Tapi baru saja aku mau
menyebutkan nomor hp-ku, Kak Rafael tiba-tiba muncul sambil terengah-engah.
“Maaf menganggu kalian. Tapi ini darurat!”
Kak Rafael mengatur nafasnya dahulu. “Dicky kecelakaan!!”
Saat itu aku merasa bahwa langit seakan
menimpaku. Aku seakan sedang memikul benda berat. Sangat berat untuk mengetahui
kenyataan ini.
Melihatku yang seakan tak bisa menahan
tubuhku yang serasa ingin jatuh saja, Kak Rafael segera memegang kedua
pundakku. Finna juga langsung panik walaupun benar-benar tak mengenal Dicky.
Yang ia mengerti, Dicky adalah sosok yang berarti dalam hidup idolanya itu.
Aku berusaha keras untuk tetap menopang
tubuhku. “Sekarang Dicky di mana?” tanyaku yang cemas setengah mati.
“Dicky sudah di bawa ke RS terdekat.”
“Kalau begitu.. Ayo kita ke rumah sakit
itu..”
Kak Rafael menahanku. “Tidak, Andien. Dicky
sudah ditangani. Dan.. tak ada jalan lain. Kau harus menggantikannya.” Ucap Kak
Rafael takut-takut.
Aku terkejut mendengar apa yang baru saja
Kak Rafael katakan. “Tidak, aku tidak akan melakukannya. Aku ingin ke rumah
sakit dan menemani Dicky di sana..” aku berusaha untuk melewati Kak Rafael yang
menghalangi jalanku.
“Andien.. tolong. Jangan seperti ini! Ini
saatnya kau berubah!!” ujarnya Kak Rafael dengan nada tinggi. Jelas sekali
bahwa kesabarannya terhadapku sudah habis.
“Kak..” aku pun sudah putus asa. Sumpah.
Aku lelah seperti ini. Aku juga sudah tidak bisa menahan diri lagi. Aku merasa
bahwa sejak aku dilahirkan, aku memang sudah ditakdirkan untuk bersahabat
dengan dunia bernyanyi.
Sesaat ada jeda di antara kami. “Baiklah.
Tapi tolong, jaga Dicky di rumah sakit. Setelah menyelesaikan tugasku di sini,
aku akan ke sana.” Putusku. Memang benar. Tak ada jalan lain lagi.
Kak Rafael maupun Finna langsung terkejut.
“Akhirnya.. Inilah Andien yang kami
tunggu-tunggu. Baiklah! Aku menunggumu di RS. Thanks.. and Fighting, Andien!”
ujarnya Kak Rafael sebelum akhirnya lari terburu-buru menuju keluar gedung
untuk ke RS tempat Dicky sedang ditangani.
“Fighting!” Finna ikut memberiku semangat.
_
Dengah gelisah aku menunggu di ruang
tunggu. Selama menunggu, aku bukannya berlatih. Aku malah sibuk berdoa, memohon
agar Dicky baik-baik saja. Tidak ada cedera fatal.
Hingga akhirnya tak terasa nomor 22 pun
dipanggil.
Tanpa persiapan, tanpa nomor peserta di
bajuku, tanpa latihan sedikitpun, aku pun masuk sambil membawa gitar milik
Dicky ke dalam lorong. Menyusuri lorong panjang itu sampai akhirnya aku sudah
sampai di panggung. Aku gugup, cemas, gelisah setengah mati.
3 juri yang menilai para peserta diam
melihatku. 2 di antara mereka menunjukkan wajah terkejutnya. Sedangkan juri
yang satunya yang terlihat jelas dari wajahnya bahwa ia bukanlah orang Indonesia
hanya menampakkan wajah bingung.
“Kau adalah Dicky Muhammad Prasetya?” tanya juri yang berwajah bule
itu setelah melihat kertas yang ada di meja juri. Pengucapan bahasa
Indonesianya lancar. Tapi cara pengucapannya yang terdengar sedikit aneh.
“Bukan.” Jawabku takut-takut. Takut kalau
aku akan didiskualifikasi. Sementara 2 juri yang lain masih menunjukkan wajah
terkejutnya.
“Lalu kau siapa? Kau juga tidak memiliki
nomor peserta..”
Aku mendesah. Bingung harus menjelaskan
apa.
“Aku perwakilannya.. ” jawabku singkat.
“Perwakilan? Tidakkah kau tahu kalau tak
ada yang namanya perwakilan di sini. Peserta yang terdaftar sendiri yang harus
bernyanyi..” jelasnya.
“Kalau begitu.. Aku adalah penggantinya
saja..”
Juri bule itu semakin bingung. “Dimana
Dicky?”
Aku mendesah panjang. Berat rasanya untuk
mengatakan hal ini. Membayangkannya saja sudah membuatku seperti sesak nafas.
Aku menarik nafas panjang dan
menghembuskannya. Setelah mengontrol diri agar tidak terlalu histeris untuk
mengatakannya, aku pun menjawabnya. “Baru saja ia kecelakaan.”
Setetes air mata seketika jatuh dari
mataku. Aku mengusapnya. Berusaha untuk terlihat tegar. Aku tahu ini memalukan,
tapi apa daya. Aku tak bisa menahannya. Air mataku tidak bisa diajak kompromi.
Air mata itu menumpuk di pelupuk mataku dan ketika tak bisa menahan bebannya
lagi, air mata itu akhirnya mengalir dengan bebasnya ke pipiku. Dan kembali aku
mengusapnya.
Juri itu sejenak terdiam. Lalu
akhirnya tampak sedang mendiskusikan sesuatu pada juri yang 2 juri yang lain.
Dan akhirnya juri yang lain, yang berwajah khas Indonesia bergantian untuk
berbicara padaku.
“Kau Andiena Hanara, kan? Mantan penyanyi
terkenal itu?” ucap juri yang duduk di sebelah kanan. Membuat si juri yang dari
tadi menanyaiku langsung terkejut.
“Andiena Hanara? Aku seperti pernah
mendengar nama itu,” juri bule itu tampak berpikir lalu kemudian menjentikkan
jarinya. “Aku tahu! Dia, putri dari Veronica. Penyanyi terkenal yang mendunia
itu. Yang meninggal sekitar.. 2 tahun yang lalu. Benar?”
Aku mengangguk.
“Ahh Andien! Perkenalkan, saya James.
Sahabat almarhumah ibumu..” juri bule yang ternyata bernama James itu terlihat
sangat antusias mengenalku.
“Ahh, Uncle.
Saya sering mendengar tentang Anda dari almarhumah Ibuku..”
“Kami benar-benar berteman baik. Ayo bernyanyilah..
Dari dulu, aku sudah ingin mendengarmu bernyanyi..”
Aku mengangguk. Lalu mengeluarkan gitar
Dicky dari tas gitarnya dan memosisikan gitar itu di tanganku.
“Maaf kalau penampilanku nanti akan
terkesan buruk. Karena aku sungguh tak mempersiapkan apa pun. Kecelakaan itu
sungguh mendadak. Dan aku pun tak menyangka akhirnya akan seperti ini. Lagu ini
adalah lagu favoritku dengannya. Unbelievable dari Craig David..”
Aku menarik nafas dalam-dalam, dan
menghembuskannya perlahan. Dan mulailah aku melantunkan lagu itu yang diiringi
dengan permainan gitarku. Dengan penuh pengkhayatan aku menyanyikan lagu itu.
Dan aku sangat bersyukur karena dapat menyanyikan lagu itu dengan baik sampai
selesai.
Sesaat para juri hanya bisa speechless setelah mendengarku bernyanyi. Dan
kemudian ketiga juri itu memberiku standing
applause. Senyum lebar seketika merekah di bibirku. Seharusnya selama ini
aku menuruti kata hatiku saja. Aku seharusnya menuruti kata hatiku yang ingin
kembali bernyanyi. Kembali menjadi Andien yang dikenal sebagai penyanyi
berbakat.
Aku menjauhi dunia bernyanyi karena ketika
bernyanyi, aku akan teringat oleh Mama. Aku memang rapuh ketika mengingat Mama.
Tapi lebih menyakitkan lagi ketika aku harus terus seperti ini. Ini sungguh
menyiksa batinku. Ini saatnya untuk berubah. Inilah saatnya.
Ya, aku benar-benar sadar sekarang.
Life Goes On, doesn’t it?
_
Aku berlari-lari kecil di koridor Rumah
Sakit. Aku tahu itu dilarang, tapi aku tidak peduli. Yang terpenting bagiku
sekarang adalah, mengetahui apakah Dicky baik-baik saja, mengetahui jawabannya
secepatnya.
“Kak Rafael!” sahutku ketika kulihat sosok
Kak Rafael yang duduk di salah satu kursi tunggu. Segera saja aku mendekatinya
dan duduk di sampingnya.
“Dicky di mana?” tanyaku. Raut wajah putus
asa terlihat jelas dari wajah Kak Rafael. Air mataku jatuh seketika. Aku tahu
hal yang buruk telah terjadi.
“Ada cedera yang serius di kakinya. Dan
harus menjalani operasi secepatnya. Sekarang operasinya sedang berlangsung.”
Jelas Kak Rafael.
Aku merasa tubuhku sangat lemas. Harapanku
bahwa Dicky baik-baik saja sirna seketika.
“Setelah operasi, semuanya akan baik-baik
saja, kan?” tanya yang berharap sepenuh hati bahwa Kak Rafael akan mengangguk.
“Kita dengar saja penjelasan Dokter
nanti..”
Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi.
Dicky kecelakaan. Menjalani operasi. Operasi yang tingkat keberhasilannya
rendah. Aku benar-benar takut kalau aku harus kehilangan Dicky juga. Tidak! Ini
tidak boleh terjadi! Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sangat sayangi
untuk yang kedua kalinya.
Aku terus berdoa untuk Dicky. Juga
membacakan Ayat Kursi dan beberapa ayat surah Yasin untuknya.
“Bagaimana dengan lombanya?” tanya Kak
Rafael tiba-tiba.
“Aku rasa aku bernyanyi dengan sangat baik.
Ketiga juri memberikan standing
applause yang luar biasa
untukku. Tapi bagaimanapun, aku bukan peserta dan aku termasuk sebagai senior.
Jadi, yaa begitulah. Aku hanya dianggap sebagai penghibur saja di sana..”
Kak Rafael tersenyum. “Dapat atau tidaknya
juara itu tidak penting. Yang penting itu adalah.. kau kembali bernyanyi.”
Aku mengangguk. “Aku benar-benar akan
kembali, Kak. Aku tidak mau seperti ini lagi. Terlalu menyakitkan untuk tidak
mengikuti kata hatiku.” Ucapku.
Kak Rafael tersenyum lagi. Ia lalu
mengacak-ngacak rambutku. “Akhirnya kau benar-benar kembali menjadi Andien yang
dulu.. ” Kak Rafael merentangkan kedua tangannya. “So, welcome back!”
_
Aku baru saja keluar dari musholla untuk
menjalankan shalat Dhuhur. Aku merasa hatiku sudah tenang sekarang. Aku melihat
Kak Rafael yang tampak sedang berbincang dengan seorang dokter di depan pintu
ruang UGD. Raut wajah putus asa kembali tersirat dari wajah Kak Rafael. Apakah
operasinya tak berhasil?
Aku berlari menghampiri mereka. Saat itu
pulalah perbincangan mereka selesai. Sang dokter pun pamit permisi. Aku pun
segera bertanya pada Kak Rafael.
“Operasinya tidak berhasil?” tanyaku yang
diikuti dengan setetes air mata yang mengalir dari mataku.
“Alhamdulillah, operasinya berhasil..”
jawab Kak Rafael.
Aku merasa super lega. Aku belum pernah
merasa selega ini.
“Lalu, apa ada masalah? Kak Rafael terlihat
putus asa..”
Kak Rafael mendesah panjang. “Operasinya
memang berhasil. Tapi Dicky harus menjalani perawatan yang lebih baik lagi.
Dicky harus menjalani perawatan selanjutnya di luar negri. Banyak yang cedera
di tubuhnya. Sekaligus menjalani terapi karena cedera fatal pada kakinya.”
Aku kembali lemas. Itu artinya aku harus
berpisah dengan Dicky. Walaupun tidak selamanya alias hanya sementara, tapi aku
tetap tidak tahan. Sehari tanpa bersama Dicky saja sudah membuatku sungguh
tersiksa karena rindu berat. Bagaimana dengan menjalani perawatan dan terapi di
luar negri yang membutuhkan waktu berbulan-bulan itu? Ataukah mungkin lebih
lama lagi? Ohh nooo..
Kak Rafael menepuk-nepuk bahuku. “Pulanglah
dulu. Biarpun kau di sini, kau tetap belum bisa menengok Dicky dulu untuk hari
ini.”
Aku mengangguk lemas lalu pamit pada Kak
Rafael. Setelah itu barulah aku melangkahkan kakiku dengan lemas. Hari ini
sungguh hari yang sangat berat untukku.
_
“Kau mau makan apa?” tanya Papa saat kami
sedang makan malam bersama.
“Tidak apa-apa. Aku sebenarnya masih
kenyang.” Kataku setelah mendesah panjang. Kutopang kepalaku dengan kanan
kiriku. Tak ada selera sama sekali. Aku hanya menatap makananku sambil
memainkan sendokku pada makanan di piringku.
“Masih kenyang atau nggak selera? Kau bisa
sakit kalau tidak makan.. Kau belum makan dari pagi. Tadi pagi kau tidak makan
karena buru-buru, tadi siang juga tidak, dan sekarang kau tidak makan karena
masih kenyang. Memangnya kau makannya kapan?”
“Aku serius, Pa. Aku masih kenyang. Tadi
pagi aku juga sempat makan roti yang dikasih Dicky..”
“Ahh, Dicky. Kau pasti tidak selera karena
memikirkan Dicky, kan?” akhirnya Papa mengerti. “Sudahlah Andien.. Kau seperti
ini juga tidak akan memperbaiki keadaan. Lebih baik kau cepat habiskan
makananmu dan cepatlah sholat Isya. Doakan Dicky.” Papa menasehatiku.
Aku mengangguk. Lalu perlahan mulai
menyantap makananku yang sudah dingin. Perlahan-lahan.
“Assalamu ‘alaikum..” sahut seseorang. Aku
tahu pasti siapa itu. Dan benar saja, Acha tiba-tiba muncul dengan tas biola
yang di pegangnya. “Ehh? Kakak udah pulang?” Acha tersenyum ceria padaku. Namun
perlahan senyuman itu meredup ketika Acha melihat ekspresi wajahku yang
terlihat jelas bahwa aku suasana hatiku sedang buruk.
“Kakak kenapa? Kok mukanya kusut gitu?”
tanya Acha. Aku tidak menjawabnya. Dan Acha berusaha untuk menebak apa
masalahnya. “Aku tahu!” sahut Acha tiba-tiba. “Pasti Kakak berantem lagi sama
Kak Dicky!” tebaknya dengan penuh keyakinan.
Perkataan Acha tadi langsung membuatku
kehilangan selera lagi. Air mataku kembali keluar. Aku pun segera berlari
menuju kamarku.
“Hah? Kenapa, sih? Putus gitu aja udah
nangis deras gitu. Kan pasti balikan lagi..” Acha melangkah menuju kursi meja
makan dan ikut dinner sama Papa.
“Seharusnya kamu tidak menyebut Dicky
dulu..” tegur Papa.
“Wahh.. Kali ini pasti sangat sulit, ya,
Pa?”
“Hubungan mereka baik-baik saja. Hanya
saja……siang ini Dicky kecelakaan.”
“Apa? Kak Dicky kecelakaan? Yang bener, Pa?
Astagfirullah ‘al adzim..” Acha menutup mulutnya.
“Ya ampun.. aku sudah keterlaluan..” Acha
tak jadi dinner dan berlari menuju kamar Kakaknya.
Tok-tok-tok
“Masuk..” sahut suara dari dalam. Acha
langsung saja memutar handle pintu itu dan masuk ke kamar Kakaknya.
“Maaf ya, Kak, soal tadi. Aku nggak tahu..”
Acha menunduk menyesal.
Aku mengangguk dan mengusap air mataku.
“Nggak apa-apa, Cha..”
“Besok, kita jenguk Dicky sama-sama ya,
Kak?”
Aku tersenyum padanya. Dan akhirnya
mengangguk.
_
“Maaf..” ucap Dicky padaku saat aku selesai
menceritakan padanya soal nasib lomba kemarin. “Kau terpaksa harus
menggantikanku..”
Aku menggeleng. “Jangan pikirkan itu..”
“Jadi, kemarin kau bernyanyi. Pasti sesuatu
telah terjadi..”
Aku mengangguk. “Ya.. Pagi-pagi sekali
selesai aku sholat subuh, banyak wartawan yang desak-desakan di depan rumahku.
Mereka semua ingin mewawancaraiku hanya karena masalah itu. Tadi pagi aku juga
melihat banyak artikel tentangku di majalah-majalah saat aku ke toko buku tadi.
‘Andiena Hanara. Sang mantan penyanyi terkenal akhirnya kembali!'” aku menyebut
salah satu judul artikel dari salah satu tabloid yang sempat kubaca. “Padahal
aku hanya menggantikanmu. Itu saja. Ternyata ada seorang wartawan yang sedang
ingin meliput mengenai lomba menyanyi itu kemarin. Dan akhirnya mereka dengan
puasnya mengambil gambarku dan ada pula yang merekamnya dan akhirnya aku
melihat diriku ketika bernyanyi tadi pagi di TV. Ahh, aku sungguh membenci
mereka..” gerutuku.
“Itulah resiko menjadi seorang yang dikenal
maupun hanya seorang mantan,” kata Dicky. “jadi, apa rencanamu selanjutnya?”
“Rencana? Rencana apanya? Aku hanya akan
menemanimu terus sampai keberangkatanmu nanti..” jawabku.
_
“Ahh.. aku baru saja datang untuk
membantumu mengepak barang-barangmu. Tapi sepertinya semuanya sudah siap..”
ucapku saat melihat Dicky menutup retsleting koper yang berukuran sangat besar
itu. Ia lalu meletakkan tas ranselnya di atas koper. Barulah ia mengambil
tongkat atau mungkin lebih bisa dikatakan sebagai alat untuk membantunya
berjalan.
“You’re late, girl..” Dicky duduk di
sofa yang berada di kamarnya itu. “Duduklah..” Dicky menepuk sofa itu.
Aku menurut saja.
“Kau terlihat sangat cantik hari ini.
Apakah karena aku akan pergi besok dan kau sengaja berdandan secantik-cantiknya
untukku? Itulah mengapa kau terlambat ke sini?”
Aku memukul lengan Dicky dengan pelan.
“Auww!” Dicky mengelus-ngelus lengannya
itu. “Hey! Daerah sini masih sedikit memar, tau!”
“Siapa suruh kau menyindirku? Asal kau tahu
saja, aku tidak se-feminim itu! Lagipula, aku memukulnya dengan sangat pelan!”
“Sepelan apa pun, itu tetap sakit, tahu!
Dasar kau!” Dicky mengacak-acak rambutku.
“Ahh Dicky!!!” gerutuku. “Apa enaknya sih
mengacak-acak rambutku?”
“Itu menyenangkan. Membuatmu kesal itu
menyenangkan bagiku..” Dicky tertawa. “Come on! Hari ini adalah hari terakhir!
Setelah kepergianku besok, aku sudah tidak bisa mengacak-ngacak rambutmu
lagi..”
Aku mendesah. “Ya, walaupun aku tak suka
kalau rambutku kau acak-acak, aku akan tetap merindukan hal itu..”
“Hahaa, kalau begitu aku memang sebaiknya
mengacak-ngacak rambutmu itu sesekali mungkin..” Dicky kembali mengacak-ngecak
rambutku.
“Ahh Dicky!!!”
Dicky pun berhenti melakukan hal itu. Ia
malah mengambil handphone dari saku celananya dan mengacak-acak rambutku
kembali. Namun kali ini ia melakukan hal itu sambil mengarahkan kamera pada
kami. Dan jadilah fotoku dengan Dicky dengan keadaan Dicky yang mengacak-acak
rambutku.
“Nah.. Mau kukirimkan?” Dicky melihatkan
hasil foto itu.
“Ahh.. Aku terlihat jelek di foto itu!”
protesku. Dicky hanya tertawa lebar.
“Berjanjilah untuk menungguku. Jangan
biarkan cowok lain memegang tanganmu. Dan jangan coba-coba menerima cowok lain
di hatimu selain aku. Setampan apa pun dia! Bahkan bila ia adalah Kyuhyun Super
Junior sekalipun!”
“Kalau beneran Kyuhyun, aku pasti sudah
langsung menerimanya tanpa pikir sedetikpun!” godaku. Tapi bukannya wajah kesal
yang tampak dari wajah Dicky, hanya ekspresi tenang saja sambil memandang
lukisan yang menghiasi dinding kamarnya.
“Kau tak mungkin bisa menerimanya..” yakin
Dicky.
“Kenapa tak mungkin?” tanyaku.
Dicky menoleh padaku. “Karena lelaki yang
kau cintai hanya aku..” katanya dengan penuh percaya diri.
“Kau terlalu PD..”
“Apa yang kukatakan tadi salah?” Dicky
bertanya.
“Hm.. Tidak! Kau benar. Lelaki yang aku
cinta hanya kamu. Kau benar soal itu!” kataku yang seratus persen jujur.
“Karena itu kau jangan menunda-nunda kepulanganmu! Atau aku akan berpaling
darimu!” ancamku.
Dicky tersenyum. “Aku berjanji. Aku akan
kembali secepatnya.” Ucapnya tulus. “I promise.. trust me.”
Aku membalas senyumannya. “Janji?” aku
mengulurkan tanganku padanya. Kuacungkan jari kelingkingku di hadapannya.
“Pinky swear..” Dicky mengaitkan jari kelingkingnya di
jari kelingkingku.
~Ya.. itulah malam terakhirku bersama
Dicky. Malam itu hujan deras. Esoknya, ketika hari keberangkatan Dicky, hari
itu juga hujan. Itulah mengapa melihat hujan menyenangkan bagiku. Aku jadi bisa
mengenang saat-saatku bersama Dicky sebelum kepergiannya.
Tak terasa hujan telah berhenti. Aku rasa
aku harus cepat-cepat ke Bandara. Dicky pasti sudah lama menunggu di sana. Aku
pun melangkahkan kakiku menuju keluar kompleks dan segera memberhentikan taksi
pertama yang lewat. Hatiku berdegup kencang saat itu. Sungguh, aku sudah sangat
merindukan Dicky. Tak bersama Dicky selama hampir 2 tahun sungguh membuatku
ingin memeluknya saat itu juga.
_
6 bulan kemudian..
“Tak bisakah kau lebih cepat sedikit? Ada
ratusan penonton di sana yang sedang menunggu kita..” protes Dicky.
“Tenanglah.” Ucapku sambil merapikan
pakaian yang kukenakan. “Nah.. Aku sudah siap sekarang! Ayo!”
Aku dan Dicky pun berjalan menyusuri lorong
itu dan sampailah kami di panggung. Para penonton langsung histeris. Suasana
benar-benar sangat semarak saat itu. Ratusan penonton terus menyerukan nama
kami. Sudah tak sabar untuk menonton live
perfomance idolanya.
Dan aku pun mulai melantunkan lagu ‘Our
Memories’. Lagu yang kutulis sendiri ketika Dicky sedang menjalani perawatan di
luar negri beberapa bulan lalu.
Aku dan Dicky menyanyikan lagu itu bersama.
Lagu yang memang sengaja untuk duet-ku bersama Dicky.
Yeah, I’m back!
_ Thanks for who has red this story. What do you think?