Senin, 17 Juni 2013

My Memories | In the Rain


 Cerita ini terinspirasi waktu aku lagi duduk di balkon kamarku. Waktu itu sore hari, hujan deras, dan aku lagi dengerin musik pakai headphone. Lagu yang aku dengerin adalah lagu favoritku, yaitu lagu Unbelievable dari Craig David. Hanya karena saat itu hujan yang diiringi lagu Unbelievable dan kecintaanku terhadap musik, aku langsung dapat ide cerita ini. 
_ I Hope, you like it :)

Langit yang tadinya mendung kini mulai menumpahkan seluruh bebannya. Tak ada pilihan lain, aku harus segera mencari tempat untuk berteduh. Dan akhirnya aku memutuskan untuk singgah sejenak di salah satu rumah warga dan berteduh di terasnya untuk menunggu hujan berhenti.
Aku mendesah. Sesekali aku mengumpat kesal karena hujan yang datang di saat yang tidak tepat seperti ini. Hari ini aku harus segera ke bandara. Dan tak mungkin aku berhujan-hujanan karena tubuhku yang rentan terhadap penyakit. Kekesalanku terhadap Acha, adik perempuanku, yang membawa mobilku untuk hang out bersama temannya tanpa meminta izinku semakin memuncak. Aku harus segera menuju jalan besar untuk menyewa taksi. Aku hanya dapat berharap agar ada taksi yang tengah membawa penumpang dan memasuki perumahan kompleks rumahku.
Tapi bagaimana pun, aku senang memandangi hujan. Karena dengan memandangi hujan, aku jadi bisa mengingat semua putaran unforgettable sweet moment-ku dengan Dicky. Sosok lelaki yang sangat berarti dalam hidupku.
Hujan yang tak disangka-sangkanya turun di pagi hari mulai membawaku ke dalam putaran memoriku dengan Dicky. Memori terindah dalam hidupku~

~Pagi yang cerah menemaniku dalam menjalani rutinitas pagiku. Dimulai dari hal yang tak bisa untuk dilewatkan: sholat subuh lalu mandi, berpakaian, dan sarapan. Semuanya kujalani dengan semangat.
Setelah sarapan dan berpamitan dengan Papaku. Aku pun segera keluar dari rumah dan otomatis saja tersenyum kepada sosok cowok yang sudah menungguku di depan gerbang. Dicky.
“Kenapa nggak masuk aja, sih?” tanyaku sambil berjalan menuju gerbang dan membuka gerbang yang tidak terkunci itu ketika aku sudah sampai.
Dicky menggeleng singkat. “Never mind, Dear. Tadi kebetulan ketemu sama temen lama, kok. Jadi nggak bosan nunggu. Bersamaan aja tadi kamu datengnya sama perginya dia.” Jelasnya yang diikuti dengan anggukan kepalaku tanda mengerti dengan ucapannya.
“Ayo! Ini sudah pukul setengah 7 pagi. Beberapa menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Aku nggak mau terlambat lagi seperti kemarin gara-gara kamu yang ngaret.” Sindir Dicky yang diselingi dengan tawa kecilnya.
Sesaat aku sempat mendengus kesal tapi kemudian menurut dengannya. Aku nggak mau terlambat ke sekolah. Apalagi perjalanan ke sekolahku itu memakan waktu sekitar 10 menit. 10 menit itu kurung waktu kalau jalan kaki, lho! Ya! Aku dan Dicky memang tetanggaan dan biasanya jalan bareng ke sekolah. Sebenarnya Dicky punya motor yang tentu saja bisa ia pakai kemanapun ia mau pergi itu. Tapi ini dia masalahnya, Dicky masih belum cukup umur (16 tahun) buat punya SIM. Dan di dekat sekolah kami, ada pos polisi yang di pos itu, ada polisi yang doyan banget nilang para murid yang suka bawa kendaraan ke sekolah tapi belum punya SIM.
Ngomongin soal Dicky, Dicky itu adalah teman dekatku sejak kecil dan udah tetanggaan juga dari dulu. Dan seiring berjalannya waktu bersamaku dengan Dicky, muncullah perasaan yang kami takutkan dari dulu. Perasaan layaknya rasa suka antar lawan jenis. Dan akhirnya takdir-lah yang menyatukan kami kedua menjadi sepasang kekasih. Dan resmi berpacaran sekitar 2 bulan yang lalu. Walaupun suka berantem yang memang sudah menjadi ‘hobi’ kami saat masih berstatus sebagai sepasang sahabat, tapi kami dapat dengan cepatnya baikan. Rekor terlama ‘marahan’ kami adalah hanya selama sehari saja. Itupun udah bikin aku sama Dicky tersiksa berat semalaman. Maka dari itu besoknya kita langsung baikan lagi.
_
Akan kulakukan, semua untukmu~
Akan kuberikan, seluruh cintaku~
Janganlah, engkau berubah~
Dalam menyayangi, dan memahamiku~
Aku tersenyum. Saat yang membuatku sangat bahagia adalah ketika Dicky mulai bernyanyi untukku. Dengan suaranya yang indah, ia dengan tulus menyanyikan lagu RAN – Kulakukan Semua Untukmu. Lagu yang benar-benar memiliki arti cinta yang sangat tulus~
Dicky menyelesaikan nyanyiannya yang ditutup dengan petikan terakhir pada gitarnya.
"Thank you." ucapku tulus pada Dicky yang diikuti dengan senyum manisnya.
"You’re welcome. Now is your turn to sing a song for me!” ujar Dicky setengah meminta.
“Dicky..” desahku. “Aku, kan, sudah bilang kalau aku sudah tak ingin bernyanyi lagi?” ucapku mengingatkan.
Aku teringat dengan almarhumah Ibuku yang dulu ketika masih hidup adalah seorang penyanyi internasional. Mama pun mengajariku teknik bernyanyi yang baik yang memang menyadari bakat bernyanyiku yang turun darinya. Bimbingan sang Mama yang memang sudah benar-benar diakui sehingga akhirnya membuatku ikut terkenal dengan bakatku yang semakin matang karena Mama. Aku paling sering diandalkan oleh para guru jika ada perlombaan menyanyi atau untuk mengisi acara-acara sekolah. Tak jarang aku mendapat tawaran manggung untuk acara-acara music di TV.
Tapi, ketika Mama meninggal akibat kecelakaan pesawat yang mengantar Mama menuju Brazil karena diundang untuk mengisi sebuah acara talk show di sana, semangatku untuk menjadi seorang penyanyi internasional seperti Mama seketika menghilang. Aku menjauhkan diri dari dunia bernyanyi dan memilih untuk fokus pada pelajaran di sekolah. Walaupun semua orang yang menyayangiku tak henti-hentinya menyemangati dan menghiburku, aku tetap diam. Aku merasa hanya membutuhkan dukungan Mama.
Aku juga merasa sangat sedih ketika harus mengecewakan semua orang yang telah mendukungku, para keluarga, teman-teman, guru-guru, para penggemarku, dan juga Dicky. Tapi keputusanku sudah bulat sempurna. Dan bagaimanapun, jika aku kembali dalam dunia bernyanyi, aku tak yakin responnya akan seramai dulu. Mungkin saja aku malah dikucilkan karena dianggap penyanyi “plin-plan” yang bisa seenaknya saja keluar masuk dunia entertainment.
“Kau, kan, hanya bilang kalau kau ingin menjauh dari dunia bernyanyi. Nah, apa susahnya nyanyiin satu lagu aja buat aku? Hm.. setidaknya bagian reff lagu Unbelievable-nya Craig David aja!” mintanya yang menyebutkan judul lagu yang merupakan lagu favorit kami berdua. Lagu yang sering kami nyanyikan bersama dulu. 2 tahun lalu sebelum Mamaku meninggal.
Aku mengambil tas selempangku yang kuletakkan di atas panggung dan bersiap-siap untuk keluar dari aula musik SMA-ku.
“Menyanyi pun aku sudah tak punya niat lagi..” ucapku sambil melangkahkan kakiku menuju pintu keluar.
“Andien!” Dicky beranjak dari tempatnya dan berlari untuk segera mencegatku yang hampir saja keluar aula musik yang besar dan megah ini. “Yah.. Kok ngambek, sih!” Dicky menahan tanganku.
Aku menggerutu kesal. Aku berusaha melepaskan tangan Dicky yang menahan lenganku untuk tidak pergi. Tapi aku bukan tandingan Dicky.
“Aku nggak suka kalau kau menyingung-nyinggung masalah itu lagi! Cukup dengan kau menyanyikanku sebuah lagu untukku, aku tak ingin mendengar masalah nyanyi-menyanyi lagi!” kataku sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari lenganku. Tapi kini Dicky menarik lenganku dan bergantian memegang kedua tanganku. Kini aku berhadapan dengannya.
“Aku hanya ingin kau kembali..” Dicky menatap mataku dalam-dalam yang membuatku gugup setengah mati. Walaupun aku sudah bersama Dicky selama belasan tahun, tapi aku masih tak kuat menatap tatapan matanya yang tajam tapi teduh itu.
“Dicky, please. Aku sungguh nggak mau menyinggung hal ini lagi! Tolong mengerti perasaanku..”
Dicky mendesah. Ada sorot kekecewaan dalam matanya. “Okey. Maafkan aku. Kau sudah ingin pulang? Ini…” Dicky melirik jam tangannya. “Ini sudah jam 4 sore.”
Sesaat aku masih sedikit kesal dengan Dicky. Tapi kemudian emosiku mereda. Aku mengangguk.
“Okey.. Wait a minute!” Dicky berlari menuju panggung aula musik dan mengambil gitarnya lalu memasukkannya ke dalam tas gitarnya dan menentengnya. Setelah itu, barulah kami berjalan bersama-sama keluar dari aula musik SMA kami.
_
“Andien!!”
Sebuah suara memanggilku dari belakang. Spontan aku menoleh dan mendapati Rangga, sang ketua kelas, berlari-lari sambil memanggil-manggil namaku.
Aku pun berhenti dan menunggu Rangga sampai di hadapanku.
“Ada apa?” tanyaku saat Rangga sudah berada di hadapanku sambil terengah-engah pelan.
“Hei! Lagi mikirin apa, sih? Daritadi aku panggil kok nggak noleh-noleh?” Rangga menggerutu kesal.
Jinjja?" kataku yang mengikuti gaya orang Korea di drama-drama yang sudah kunonton. "Mianheyo! Aku beneran nggak denger sama sekali. Kepalaku mumet nih abis ulangan Fisika tadi.” aku meminta maaf.
“Yaelah.. Satu kelas juga kepalanya pada mumet kali gara-gara ulangan Fisika tadi! Kecuali si Reza yang ahli Fisika. Nggak ada masalah tuh buat dia sama sekali..” Rangga malah ngomongin soal Fisika.
“Hm.. Sebenarnya ada apa, sih?” aku mengalihkan pembicaraan mengingat aku yang lagi ditungguin sama Dicky di kelasnya.
“Kamu dipanggil sama Kak Rafael tuh! Di ruang musik.”
“Buat apa?” tanyaku bingung. Soalnya baru kali ini Kak Rafael, selaku pembimbing grup vokal, memanggilku sejak pengumuman keputusanku yang memilih untuk menjauh dari dunia bernyanyi.
Rangga menggaruk-garuk rambut belakangnya. “Hm.. hm..” Rangga menggumam bingung. “Hm.. kesana aja, deh! Nanti kamu akan tahu! Ayo! Dicky juga ada di sana.”
Akhirnya aku menurut saja. Aku mengekori Rangga dari belakang menuju ruang musik yang memang sudah tak jauh lagi dari tempat kami tadi. Akhirnya kami pun sudah sampai dan segera masuk ke ruang musik.
 Ruang musik SMA ku cukup besar. Semua jenis alat musik sudah tersedia di ruang musik ini. Fasilitasnnya juga cukup lengkap. Mulai dari ruangan yang ber-ac sampai buat rekaman pun bisa.
Di sana tampak sudah ada Dicky yang berdiri sambil bersandar di dinding yang di sampingnya juga sudah ada Kak Rafael yang sedang duduk di sofa panjang. Beliau tampak memikirkan sesuatu sampai akhirnya tersadar ketika melihat kedatangan kami.
“Ehh Andien! Sini duduk di samping saya!” Kak Rafael menepuk-nepuk sofa di sampingnya.
Aku hanya menurut dan melirik Dicky yang menyorotkan raut wajah yang bingung.
“Kenapa, Kak?” tanyaku ketika aku sudah duduk di samping beliau sementara Rangga yang ikut berdiri sambil bersandar di samping Dicky.
“Hm.. Maaf sebelumnya. Tapi, tolong wakili sekolah kita dalam lomba menyanyi tingkat SMA tahun ini.” Kak Rafael memohon.
Aku benar-benar terkejut. Marah, kesal, kecewa, sedih dan cemas bercampur jadi satu. Marah dan kesal karena Kak Rafael memintaku untuk mewakili SMA untuk mengikuti lomba menyanyi yang tentu saja akan aku tolak tanpa berpikir sejenak-pun. Kecewa karena Kak Rafael mengingkari janjinya yang ia sebut 2 tahun lalu yang mengatakan bahwa ia benar-benar tak akan menyinggung masalah bernyanyi lagi denganku ketika aku ngambek berat saat Kak Rafael terus membujukku untuk kembali. Sedih karena aku jadi teringat almarhumah Mamaku. Dan terakhir cemas karena takut kalau Kak Rafael benar-benar akan memaksaku untuk ikut.
Belum sempat aku menolak, Kak Rafael sudah memohon lagi. “Tolonglah! Tahun kali ini saja! Setelah itu, aku benar-benar berjanji untuk tidak menyinggung masalah bernyanyi lagi denganmu!”
“Kak.. Kenapa mesti aku? Kan ada Rangga.” ucapku sambil menoleh pada Rangga. Rangga yang sekaligus ketua kelasku juga merupakan andalan sekolah semenjak aku tak berhubungan lagi dengan bernyanyi. Suara Rangga begitu jernih dan indah. Tapi bagaimana pun, semua murid maupun guru tetap menomorsatukanku dalam bakat bernyanyi.
“Tidak bisa! Lombanya akan dilaksanakan pada tanggal 6 April. Bulan depan. Tapi pada tanggal itu, aku akan berangkat ke Inggris dan akan melakukan trainee selama  setahun di sana.” Rangga menjelaskan.
Trainee apa?”
“Aku kan sempat memenangkan lomba bernyanyi bulan lalu. Dan salah satu juri di sana benar-benar suka pada suaraku dan menawarkanku untuk mengikuti trainee di Inggris yang langsung dilatih oleh seorang musisi yang memang sedang mencari penyanyi berbakat. Setelah melalui trainee itu, maka aku akan benar-benar masuk ke dunia bernyanyi dan diakui. Aku juga akan berada di bawah naungan Star Music UK Management!” Rangga tersenyum bangga.
Aku terkejut dan kemudian semakin terkejut ketika Rangga menyebut salah satu Management yang merupakan management yang sangat bergensi di Inggris. Aku jadi merasa kagum dan kemudian sadar bahwa Rangga memang berhak mendapatkannya karena memang suara emasnya itu memang benar-benar sangat memukau.
Seketika pikiranku menjadi melayang saat aku juga ditawarkan untuk mengikuti trainee itu yang akan berakhir dalam naungan Star Music UK Management. Saat itu aku benar-benar sangat senang apalagi ketika Mama mengatakan bahwa ia akan ikut menemaniku di Inggris dalam masa trainee. Keluarga, teman-teman, dan juga Dicky turut mendukungku. Keberangkatanku ke Inggris tinggal 2 minggu lagi saat Mama tiba-tiba dipanggil ke Brazil untuk menghadiri undangan acara talk show. Tapi pesawat yang Mama tumpangi kecelakaan dalam perjalanan ke sana dan tak ada satu pun penumpang yang selamat.
Saat itu aku benar-benar shock. Aku tak punya semangat hidup lagi. Bahkan sempat aku mencoba untuk bunuh diri tapi Dicky datang dan menyadarkanku. Aku tahu kalau saat itu aku benar-benar terlalu shock dan kehilangan kendali. Untung saja saat itu ada Dicky. My Guardian Angel.
“Sialan kamu, Ngga! Nggak kabarin berita sebaik ini ke aku! Tapi, Selamat, ya, Ngga!” aku menyalaminya.
“Makasih!” Rangga membalas salamanku.
“Jangan lupa kirim e-mail, ya!"
“Hey.. hey! Belum saatnya untuk ngucapin hal itu! Aku berangkatnya masih sebulan lagi!” Rangga mengacak-ngacak rambutku. Kami tertawa bersama.
“Ehemm..” Kak Rafael dan Dicky dengan kompak berdehem keras. Sesaat mereka saling bertatapan. Kaget karena mereka berdehem secara bersamaan. Maksud Kak Rafael berdehem adalah karena aku dan Rangga malah asik ngobrol dan ngelupain masalah lomba bernyanyi bulan depan dan Dicky berdehem karena cemburu melihat kami berdua.
“Ciyeee.. Barengan!” canda Rangga yang membuat aku tertawa terbahak-bahak sedangkan Kak Rafael dan Dicky hanya menunjukkan wajah protes.
“Udah.. udah! Ayo balik ke inti!” Kak Rafael mengembalikan suasana serius. “Jadi, Andien.. Tolong, yah!”
“Kak.. aku benar-benar nggak bisa..” aku yang tadi ceria kini menjadi kembali loyo lagi. Sesaat aku melirik Dicky yang menatapku penuh harap.
Seakan mengerti maksudku. Kak Rafael pun berkata, “Dicky juga nggak mau ngikutin lomba itu. Padahal suaranya cukup bagus.. Jadi, tolong.. Setidaknya sekali ini saja!” Kak Rafael tak pantang menyerah untuk membujukku ikut. Padahal bagaimana pun, jawabanku akan tetap sama, ‘aku nggak bisa’.
Aku benar-benar merasa tubuhku sangat lunglai. Aku memegangi kepalaku dan memijatnya pelan. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. What must I do? What must I do? What must I do?. Pertanyaan itu terus menerus terulang dalam benakku.
“Biar aku saja!” tiba-tiba suara Dicky terdengar dengan agak keras. Aku, Kak Rafael, dan Rangga spontan menoleh ke arah Dicky. “Biar aku saja..” Dicky mengulangi ucapannya.
Rasa haru seketika menyerangku. Aku tahu bahwa Dicky melakukannya untukku.
Aku menatapnya dengan sorotan mata seakan berterima kasih. Dan Dicky membalasnya dengan senyum termanisnya.
“Tadi kau menolak tawaran Kakak dengan mentah-mentah. Dan sekarang kamu malah mengatakan bahwa kau akan mengikuti lomba itu..” Kak Rafael memiringkan alisnya. Tersirat pertanyaan ‘mengapa’ dalam kalimatnya.
“Aku berubah pikiran. Aku rasa bahwa aku harus mencobanya.”
_
Seminggu kemudian..
Always said I would know where to find love
Always thought I'd be ready and strong enough
But sometimes I just felt I could give up
But you came and you changed my whole world now
I'm somewhere I've never been before
Now I see, what love means
                                           
[Chorus] It's so unbelievable
And I don't want to let it go
Something so beautiful
Flowing down like a waterfall

I feel like you've always been
Forever a part of me
And it's so unbelievable to finally be in love
Somewhere I'd never thought I'd be

In my heart, in my head, it's so clear now
Hold my hand you've got nothing to fear now
I was lost and you've rescued me somehow
I'm alive, I'm in love you complete me
And I've never been here before

Now I see, what love means

[Chorus] It's so unbelievable
And I don't want to let it go
Something so beautiful
Flowing down like a waterfall

I feel like you've always been
Forever a part of me
And it's so unbelievable to finally be in love
Somewhere I'd never thought I'd be

When I think of what I have, and this chance I nearly lost
I can’t help but break down, and cry
Ohh yeah, break down and cry

[Chorus] It's so unbelievable
And I don't want to let it go
Something so beautiful
Flowing down like a waterfall

I feel like you've always been
Forever a part of me
And it's so unbelievable to finally be in love
Somewhere I'd never thought I'd be
Now I see, what love means…
Dicky menyelesaikan lagunya dengan sempurna yang juga ditutup dengan petikan terakhir gitarnya. Baru seminggu Dicky berlatih untuk persiapan lomba yang akan diikutinya, Dicky sudah seperti seorang penyanyi profesional. Bagaimana tidak? Selain Dicky yang suaranya nggak diragukan lagi, pensyaratan lomba juga mengijinkan para peserta memilih lagu bebas dan bisa menggunakan instrumen musik sesuka kita.. Tentu saja Dicky langsung memilih lagu Unbelievable – Craig David yang merupakan lagu favorit kami berdua dan juga akan ia iringi dengan permainan gitarnya. Mulai dari SMP kami senang menyanyikan lagu itu berdua. Bahkan kami memiliki video cover lagu Unbeliavable yang ketika  kami unggah di situs upload/download video dunia, YouTube, video kami langsung kebanjiran jutaan viewers yang meninggalkan jejak jutaan like dan ribuan komentar. Tanpa ada yang dislike.
Lagu itu juga yang Dicky nyanyikan untukku ketika ia menyatakan perasaan sukanya padaku. Sungguh lagu yang penuh kenangan.
“Kau benar-benar sudah seperti seorang penyanyi, Dicky..” ucapku padanya. Sambil berdiri dari kursiku dan mendekatinya yang baru saja menyelesaikan lagunya langsung di atas panggung. Aku memang sengaja untuk menyuruhnya langsung bernyanyi di atas panggung aula musik sekolah agar ia dapat terbiasa dan tak perlu gugup ketika lomba nanti. Hal ini berdasarkan pengalamanku ketika pertama kali aku bernyanyi di atas panggung, aku sungguh merasa gugup yang membuat penampilan pertamaku terkesan buruk. Saat itu Mama hanya menepuk-nepuk pundakku dan membawaku ke gedung musik yang merupakan tempat Mama sering melatih vokalnya dan biasa pula tampil jika ada acara yang diadakan di gedung itu. Disitulah Mama melatih mentalku untuk dengan bernyanyi langsung di atas panggung dan ketika aku tampil di penampilan keduaku, hasilnya benar-benar baik karena aku merasa tak gugup sama sekali.
“Bukankah aku memang seorang penyanyi? Aku selalu bernyanyi untukmu..” Dicky tertawa kecil.
Aku memukul lengannya pelan. “Hey.. Maksudku penyanyi yang mengisi acara-acara musik, menghibur fans, diasuh oleh Management, atau lain-lain..” aku menjelaskan.
I don’t want to be a singer." kata Dicky lirih. "Aku kan sudah berkali-kali mengatakan alasannya padamu..”
“Ya, ya! I know! Kau bilang kalau kau tak ingin menjadi seorang penyanyi karena tak mau mengingatkanku pada almarhumah Mamaku yang dulu seorang penyanyi. But really, I don’t ask you to do that for me! Aku tidak ingin menjadi penghalang bagimu untuk mencapai impianmu itu!”
“Aku tak bermimpi untuk menjadi seorang penyanyi! Aku ingin jadi seorang peneliti!” sanggah Dicky. Jelas sekali kalau ia berbohong.
“Menjadi peneliti hanyalah pelarianmu saja!” kataku dengan nada tinggi. “You can’t tell a lie to me! I know you! I know you so well! So, just reach your dream! Tak usah memikirkan perasaanku! Really, aku baik-baik saja dengan hal itu!”
Dicky mendesah panjang. Ia lalu memegang pundakku. “Aku juga baik-baik saja dengan hal itu.” Dicky menyunggingkan senyum di bibirnya.
Aku mengalihkan pandanganku. Dicky terlalu memikirkan perasaanku. Aku sudah menjelaskan bahwa aku malah mendukung impian yang pernah ia sebut sebelum insiden kecelakaannya pesawat yang tumpangi Mama. Ia mengatakan bahwa ia akan menjadi seorang penyanyi internasional dan menyenangkanku.
Forget it.. Lanjutkan latihanmu.” Aku meminta Dicky ketika merasa canggung dengan jangka waktu diam-diaman kami yang berlangsung lama.
Dicky menggeleng. “Tidak. Aku rasa latihanku untuk hari ini sudah cukup. Kau juga sudah menunggu lama. Ayo, ini sudah hampir malam. Hm.. Oya! Bagaimana kalau kita makan malam bersama dulu? Ada restoran seafood yang ingin kudatangi denganmu.”
“Sudahlah. Aku lelah. Aku rasanya ingin istirahat saja di rumah.”
Dicky menunduk. Sedikit kecewa dengan penolakanku terhadap ajakannya.
“Okey. Sorry, i don’t know if you’re tired. Aku baru mengerti. Kau pasti lelah karena telah menemaniku berlatih dari sepulang sekolah tadi. Ayo! Kita pulang!”
_
Aku mengusap air mataku dengan selembar tisu. Entah angin apa yang membuat aku mengingat Mama. Bayang-bayang Mama yang sedang melatihku bernyanyi seperti terputar di hadapanku. Aku sungguh merindukan sosoknya yang selalu menemaniku menjalani hari-hariku. Membuatkan masakan kesukaanku, membersihkan lukaku, menemaniku ketika aku tampil di sebuah acara jika beliau tak sibuk, memberikan semangat padaku..
Tiba-tiba bayangan Mama yang tadinya terlihat melatihku bernyanyi, kini berubah. Hanya sosok Mama yang terlihat menghadapku sambil tersenyum padaku. Dan beliau berkata, “Tidak seharusnya kau seperti ini, Sayang. Kau tak seharusnya seperti ini. Kau tak perlu menjauhkan dirimu dengan dunia bernyanyi. Lanjutkan mimpimu. Jangan berhenti di sini. Jangan mengatakan bahwa kau hanya menginginkan dukungan Mama. Itu sama saja kalau kau membuang semua dukungan pihak lain. Jangan kecewakan mereka. Terutama Dicky..”
Aku menangis tersedu-sedu. Aku terisak hebat.
I’m sorry, Ma.. Aku.. aku tahu aku salah.. Tapi inilah keputusanku.” Ucapku di sela-sela tangisku.
“Kau belum cukup dewasa, Sayang. Kau belum bisa menentukan mana keputusan yang benar. Mama harap kau bisa cepat dewasa agar kau bisa memilih keputusan yang benar.”
Dan bayangan Mama seketika menghilang.
“Mama! Don’t leave me alone!!!” aku berteriak keras.
No, Honey. You’re not alone. You still have..Dicky.” suara Mama kembali terdengar. Hanya suara. Tak ada sosok Mama lagi.
_
“Mamaa!!!”
Aku berteriak keras. Kini aku sadar. Aku bermimpi. Tapi mataku benar-benar basah. Wajahku merah. Aku benar-benar ikut menangis di alam kesadaranku.
Aku menemukan diriku sedang duduk bersandar di samping tempat tidur. Aku ingat. Semalam aku benar-benar merasa sangat rindu dengan Mama dan tertidur dengan keadaan duduk dengan kedua tangan yang memeluk kedua lututku dan menenggelamkan wajahku di lututku.
Kini aku merasa sangat merindukan Dicky. Dicky. Sosok yang sangat berarti dalam hidupku. Aku merindukannya. Sangat merindukannya.
 Tak sadar aku membuka mulutku dan menyanyikan lagu favoritku dengan Dicky. Inilah untuk yang untuk pertama kalinya aku kembali bernyanyi sejak insiden 'mengerikan' 2 tahun yang lalu.
Aku menyanyikan lagu itu mulai dari awal sampai akhir. Aku sungguh merindukan diriku yang bernyanyi.
Now, I see.. What love means..
Aku melantunkan kalimat terakhir lagu itu. Dan kemudian aku menangis lagi..
_
Dicky sungguh terkejut ketika mendengar Andien bernyanyi. Ia ternyata diam-diam mendengar Andien bernyanyi dari balik pintu kamar Andien. Tak sadar ia tersenyum. Ia tahu pasti, tak lama lagi, Andien akan berubah. Andien akan mulai bernyanyi lagi.
_
Besok adalah hari dilaksanakannya lomba bernyanyi itu. Dicky terlihat gugup dengan sangat jelas. Aku menepuk-nepuk bahunya. Persis dengan hal yang dulu dilakukan Mama jika aku gugup sebelum tampil.
“Perlombaannya besok. Tapi, kau sudah terlihat sangat gugup hari ini..” ucapku.
“Hey! Aku bukannya gugup! Aku hanya khawatir kalau aku tak dapat bernyanyi dengan baik besok. But, you know! This is my the first perfomance on the real stage!!”
“Jadi selama ini kau anggap tempat kau selalu berlatih apa? Kau pikir itu bukan panggung? Hanyalah lantai biasa?”
Not like that.. Ahh, you really don’t understand..”
“Ahh sudahlah.. Kau akan bernyanyi dengan sangat baik besok kalau kau tak gugup..”
“Heyy! Aku benar-benar tak gugup sama sekali!” sanggahnya kesal. “Aku kan sudah berlatih di atas panggung sesuai rekomendasimu! Jadi aku benar-benar tidak merasa gugup!”
Aku menyandarkan tubuhku di sofa empuk yang berada di ruang musik.
“Tetap saja kalau kau gugup..” aku masih tak ampun-ampunnya menggoda Dicky.
Dicky sudah ingin menyanggah perkataanku lagi tapi tak jadi ketika Kak Rafael tiba-tiba muncul di hadapan kami.
“Kalian belum pulang juga? Ini sudah larut. Terutama kau Dicky! Setelah latihan yang keras selama sebulan ini, seharusnya kau mengistirahatkan tubuhmu agar kau bisa bernyanyi dengan segar besok sehingga penampilanmu baik. Ayo! Aku antar pulang kalian berdua!”
Kak Rafael memberikan kami tumpangan sampai di rumah. Tiba di depan rumahku, Kak Rafael memberhentikan mobilnya. Aku dan Dicky yang duduk di belakang pun segera turun.
“Ingat! Kau harus istirahat malam ini! Jangan pikirkan soal lomba besok! Kosongkan pikiranmu. Tenangkan seluruh pikiranmu. Istirahatlah malam ini! Jangan pacaran terus!!” Kak Rafael menekankan kalimat terakhir.
“Siap, Kak! Tenang aja! Masih ada waktu buat kami berdua di hari-hari selanjutnya!” Dicky duluan membalas perkataan Kak Rafael.
“Oke. Aku benar-benar berharap kau menjalani semua ucapanku tadi. Baiklah! Ini benar-benar sudah larut! Kakak pergi duluan. Bye!” Kak Rafael melambaikan tangannya dari dalam mobilnya dan mulai berlalu.
“Oke! Please take a rest, Dicky! Ikuti saran-saran Kak Rafael tadi!” ucapku mengingatkan.
“Ya. Aku akan mengikuti semua saran Kak Rafael tadi. Please enter, and take a rest too. Besok kita berangkat bersama.”
“Oke! Aku masuk dulu, ya! Dahh..” aku melambaikan tanganku ke arah Dicky sambil tersenyum ke arahnya sebelum akhirnya aku masuk menuju pekarangan rumahku setelah Pak Ali membukakan pagar untukku.
_
Dan tibalah hari disaat Dicky akan berlomba. Hari itu cuaca kurang mendukung. Diluar sana hujan lumayan deras. Itulah mengapa hari ini aku harus mengenakan jaket yang lumayan tebal karena dinginnya udara.
“Nomor 16..” seorang MC menyebutkan nomor 16 dari atas panggung. Seorang gadis dengan penampilan menarik terlihat masuk ke dalam lorong yang terhubung menuju panggung. Perempuan itu terlihat sangat percaya diri. Tak ada rasa gugup sama sekali yang terlihat dari wajahnya. Sangat berbeda dengan pemuda yang berada di sampingku ini.
“You look so nervous, Dicky..” ucapku. “Mau kubelikan minuman?” aku menawarkan. Aku jadi merasa cemas kalau Dicky tak bisa beryanyi dengan baik kalau ia gugup seperti ini. Setidaknya dengan meminum minuman yang dingin-dingin, Dicky akan merasa sedikit segar.
Dicky melirikku yang duduk sedari tadi di sampingnya sambil ikut menunggu gilirannya. “Hm.. Biar aku saja..” Dicky berdiri dari tempat duduknya.
“Apa? Hey! Kau harus menyelesaikan tugasmu dulu di sini!” gertakku.
Ahh.. Come on! See? I’m number 22!” Dicky menunjuk angka yang tertera di kertas yang tertempel di seragam putih sekolahnya. “Dan masuk nomor 20 saja belum. Tentu aku masih punya banyak waktu! Tak butuh waktu lama, kok! Keluar gedung semenit, nyebrang jalan semenit, beli minuman di seberang jalan semenit, kembali semenit.” Dicky menghitung-hitung. “Lagipula, aku sepertinya juga butuh jalan-jalan sebentar. Aku mungkin jadi bisa menghilangkan sedikit rasa gugupku..”
“Oh.. jadi sekarang kau mau mengaku kalau kau memang gugup? Hahahaa..” aku tertawa garing. “Sudahlah.. diluar kan lagi hujan.. Biar aku saja.”
“Aku malah akan lebih tidak membiarkanmu berhujan-hujanan untuk membelikanku minuman. Tubuhmu itu kan gampang sakit..” kata Dicky sedikit mengejek.
Aku terdiam. Benar juga.
Dicky melepaskan jaket yang dikenakannya. “Jaket ini bisa berperan sebagai payung..”
Aku mendesah. Aku tahu Dicky memang sangat keras kepala. Sifatnya itu ia memang sudah ia bawa dari kecil. “Okey! Kembalilah dalam waktu 5 menit! Jangan lupa membelikanku minuman juga!” pintaku sebelum akhirnya Dicky berlalu dan tak berapa lama sosoknya tak kelihatan lagi. Pada saat itulah Kak Rafael malah tiba-tiba muncul, habis dari toilet.
“Dicky mana?” tanyanya. “Dia sudah masuk ke dalam?” Kak Rafael menunjukkan wajah cemasnya.
“Tidak. Hanya keluar membeli minuman..” jelasku.
“Ohya? Dia membelikanku minuman juga nggak? Kebetulan aku lumayan haus juga..” tanya Kak Rafael.
Aku menggeleng. “Sepertinya Dicky hanya membeli minuman untuknya dan untukku saja..”
“Ahh.. Anak itu.. Hanya memikirkan dirinya dan pacarnya saja.” Kak Rafael menggerutu sementara aku hanya tertawa geli melihatnya. “Ya sudahlah.. Kalau begitu, aku keluar membeli minuman dulu. Haus, nih..” Kak Rafael pun ikut berlalu.
Aku mendesah panjang sambil menyandarkan tubuhku di sandaran kursi. Mendengar salah seorang peserta sedang berlatih menyanyi, membuatku menjadi ingin menyanyi juga. Lalu akhirnya aku membuka mulutku dan mulai melantunkan lagu You’re Not Alone milik almarhum Michael Jackson. Aku menutup mataku. Mencoba menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan.
“Senang rasanya bisa mendengarmu bernyanyi lagi..” sahut sebuah suara. Otomatis aku membuka mataku dan menemukan seorang perempuan yang sedang berdiri di depanku.
“Apa?” tanyaku pada perempuan itu. Peserta. Pikirku ketika melihat kertas bernomor 34 yang melekat di bajunya.
“Kau Andiena Hanara, kan? Hm.. Andien? Mantan penyanyi itu?” wajah perempuan itu terlihat berseri-seri.
Sedikit ragu aku mengangguk.
“Ternyata aku benar-benar tidak salah!” gadis itu menyerahkan sebuah kertas dengan lirik sebuah lagu yang tercetak di kertas itu dan sebuah pulpen dari saku kemejanya. “Bisakah aku meminta tanda tanganmu? Aku adalah penggemar beratmu!” gadis itu sedikit histeris.
Aku melongo. Bingung. Tapi sedikit terharu juga. Dulu aku percaya bahwa tak ada yang namanya penggemar setia. Apalagi jika idola itu sudah keluar dari dunia entertaiment. Namun sekarang aku benar-benar percaya. Penggemar setia itu ada.
Aku pun menandatangani kertas itu dengan ukuran yang cukup besar. Aku juga menuliskan nama perempuan itu –yang kulihat dari name tag di seragamnya– di bawah tanda tanganku.
“Terima kasih,” ucapnya berseri-seri. “aku harap kau bisa kembali lagi ke dunia entertaiment. Sudah 2 tahun aku menunggu saat itu. Walaupun aku tak begitu yakin bahwa kau akan merubah keputusanmu. Karena kau terlihat sangat sungguh-sungguh ketika mengumumkan keputusanmu 2 tahun yang lalu itu.” Katanya yang membuatku jadi semakin terharu. Hampir saja aku mengeluarkan air mataku.
“Terima kasih, Finna. Tunggu saja, aku akan kembali.” Kataku tak sadar. Aku benar-benar terkejut ketika aku menyebutkan kalimat itu. “Insya Allah.” Sambungku cepat-cepat.
Gadis itu mendekatkan jaraknya padaku. “Sungguh? Aku benar-benar menunggumu!”
Aku tersenyum manis padanya.
“Ngomong-ngomong. Kau sedang apa di sini? Berlomba?”
Aku menggeleng. “Tidak, hanya menemani seseorang yang akan ikut berlomba.”
Finna mengangguk-angguk. “Ya sudah. Aku pamit dulu ya, Kak. Aku mau lanjut berlatih lagi..”
Aku tersenyum lagi padanya. “Oke.. Sekali lagi, terima kasih, Finna. Aku akan selalu mengingatmu.” Kataku tulus.
“Kalau begitu, boleh kuminta nomor hp-mu?” harapnya sambil mengeluarkan ponselnya dari saku jeansnya.
Aku mengangguk. Tapi baru saja aku mau menyebutkan nomor hp-ku, Kak Rafael tiba-tiba muncul sambil terengah-engah.
“Maaf menganggu kalian. Tapi ini darurat!” Kak Rafael mengatur nafasnya dahulu. “Dicky kecelakaan!!”
Saat itu aku merasa bahwa langit seakan menimpaku. Aku seakan sedang memikul benda berat. Sangat berat untuk mengetahui kenyataan ini.
Melihatku yang seakan tak bisa menahan tubuhku yang serasa ingin jatuh saja, Kak Rafael segera memegang kedua pundakku. Finna juga langsung panik walaupun benar-benar tak mengenal Dicky. Yang ia mengerti, Dicky adalah sosok yang berarti dalam hidup idolanya itu.
Aku berusaha keras untuk tetap menopang tubuhku. “Sekarang Dicky di mana?” tanyaku yang cemas setengah mati.
“Dicky sudah di bawa ke RS terdekat.”
“Kalau begitu.. Ayo kita ke rumah sakit itu..”
Kak Rafael menahanku. “Tidak, Andien. Dicky sudah ditangani. Dan.. tak ada jalan lain. Kau harus menggantikannya.” Ucap Kak Rafael takut-takut.
Aku terkejut mendengar apa yang baru saja Kak Rafael katakan. “Tidak, aku tidak akan melakukannya. Aku ingin ke rumah sakit dan menemani Dicky di sana..” aku berusaha untuk melewati Kak Rafael yang menghalangi jalanku.
“Andien.. tolong. Jangan seperti ini! Ini saatnya kau berubah!!” ujarnya Kak Rafael dengan nada tinggi. Jelas sekali bahwa kesabarannya terhadapku sudah habis.
“Kak..” aku pun sudah putus asa. Sumpah. Aku lelah seperti ini. Aku juga sudah tidak bisa menahan diri lagi. Aku merasa bahwa sejak aku dilahirkan, aku memang sudah ditakdirkan untuk bersahabat dengan dunia bernyanyi.
Sesaat ada jeda di antara kami. “Baiklah. Tapi tolong, jaga Dicky di rumah sakit. Setelah menyelesaikan tugasku di sini, aku akan ke sana.” Putusku. Memang benar. Tak ada jalan lain lagi.
Kak Rafael maupun Finna langsung terkejut.
“Akhirnya.. Inilah Andien yang kami tunggu-tunggu. Baiklah! Aku menunggumu di RS. Thanks.. and Fighting, Andien!” ujarnya Kak Rafael sebelum akhirnya lari terburu-buru menuju keluar gedung untuk ke RS tempat Dicky sedang ditangani.
“Fighting!” Finna ikut memberiku semangat.
_
Dengah gelisah aku menunggu di ruang tunggu. Selama menunggu, aku bukannya berlatih. Aku malah sibuk berdoa, memohon agar Dicky baik-baik saja. Tidak ada cedera fatal.
Hingga akhirnya tak terasa nomor 22 pun dipanggil.
Tanpa persiapan, tanpa nomor peserta di bajuku, tanpa latihan sedikitpun, aku pun masuk sambil membawa gitar milik Dicky ke dalam lorong. Menyusuri lorong panjang itu sampai akhirnya aku sudah sampai di panggung. Aku gugup, cemas, gelisah setengah mati.
3 juri yang menilai para peserta diam melihatku. 2 di antara mereka menunjukkan wajah terkejutnya. Sedangkan juri yang satunya yang terlihat jelas dari wajahnya bahwa ia bukanlah orang Indonesia hanya menampakkan wajah bingung.
“Kau adalah Dicky Muhammad Prasetya?” tanya juri yang berwajah bule itu setelah melihat kertas yang ada di meja juri. Pengucapan bahasa Indonesianya lancar. Tapi cara pengucapannya yang terdengar sedikit aneh.
“Bukan.” Jawabku takut-takut. Takut kalau aku akan didiskualifikasi. Sementara 2 juri yang lain masih menunjukkan wajah terkejutnya.
“Lalu kau siapa? Kau juga tidak memiliki nomor peserta..”
Aku mendesah. Bingung harus menjelaskan apa.
“Aku perwakilannya.. ” jawabku singkat.
“Perwakilan? Tidakkah kau tahu kalau tak ada yang namanya perwakilan di sini. Peserta yang terdaftar sendiri yang harus bernyanyi..” jelasnya.
“Kalau begitu.. Aku adalah penggantinya saja..”
Juri bule itu semakin bingung. “Dimana Dicky?”
Aku mendesah panjang. Berat rasanya untuk mengatakan hal ini. Membayangkannya saja sudah membuatku seperti sesak nafas.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Setelah mengontrol diri agar tidak terlalu histeris untuk mengatakannya, aku pun menjawabnya. “Baru saja ia kecelakaan.”
Setetes air mata seketika jatuh dari mataku. Aku mengusapnya. Berusaha untuk terlihat tegar. Aku tahu ini memalukan, tapi apa daya. Aku tak bisa menahannya. Air mataku tidak bisa diajak kompromi. Air mata itu menumpuk di pelupuk mataku dan ketika tak bisa menahan bebannya lagi, air mata itu akhirnya mengalir dengan bebasnya ke pipiku. Dan kembali aku mengusapnya.
 Juri itu sejenak terdiam. Lalu akhirnya tampak sedang mendiskusikan sesuatu pada juri yang 2 juri yang lain. Dan akhirnya juri yang lain, yang berwajah khas Indonesia bergantian untuk berbicara padaku.
“Kau Andiena Hanara, kan? Mantan penyanyi terkenal itu?” ucap juri yang duduk di sebelah kanan. Membuat si juri yang dari tadi menanyaiku langsung terkejut.
“Andiena Hanara? Aku seperti pernah mendengar nama itu,” juri bule itu tampak berpikir lalu kemudian menjentikkan jarinya. “Aku tahu! Dia, putri dari Veronica. Penyanyi terkenal yang mendunia itu. Yang meninggal sekitar.. 2 tahun yang lalu. Benar?”
Aku mengangguk.
“Ahh Andien! Perkenalkan, saya James. Sahabat almarhumah ibumu..” juri bule yang ternyata bernama James itu terlihat sangat antusias mengenalku.
“Ahh, Uncle. Saya sering mendengar tentang Anda dari almarhumah Ibuku..”
“Kami benar-benar berteman baik. Ayo bernyanyilah.. Dari dulu, aku sudah ingin mendengarmu bernyanyi..”
Aku mengangguk. Lalu mengeluarkan gitar Dicky dari tas gitarnya dan memosisikan gitar itu di tanganku.
“Maaf kalau penampilanku nanti akan terkesan buruk. Karena aku sungguh tak mempersiapkan apa pun. Kecelakaan itu sungguh mendadak. Dan aku pun tak menyangka akhirnya akan seperti ini. Lagu ini adalah lagu favoritku dengannya. Unbelievable dari Craig David..”
Aku menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Dan mulailah aku melantunkan lagu itu yang diiringi dengan permainan gitarku. Dengan penuh pengkhayatan aku menyanyikan lagu itu. Dan aku sangat bersyukur karena dapat menyanyikan lagu itu dengan baik sampai selesai.
Sesaat para juri hanya bisa speechless setelah mendengarku bernyanyi. Dan kemudian ketiga juri itu memberiku standing applause. Senyum lebar seketika merekah di bibirku. Seharusnya selama ini aku menuruti kata hatiku saja. Aku seharusnya menuruti kata hatiku yang ingin kembali bernyanyi. Kembali menjadi Andien yang dikenal sebagai penyanyi berbakat.
Aku menjauhi dunia bernyanyi karena ketika bernyanyi, aku akan teringat oleh Mama. Aku memang rapuh ketika mengingat Mama. Tapi lebih menyakitkan lagi ketika aku harus terus seperti ini. Ini sungguh menyiksa batinku. Ini saatnya untuk berubah. Inilah saatnya.
Ya, aku benar-benar sadar sekarang.
Life Goes On, doesn’t it?
_
Aku berlari-lari kecil di koridor Rumah Sakit. Aku tahu itu dilarang, tapi aku tidak peduli. Yang terpenting bagiku sekarang adalah, mengetahui apakah Dicky baik-baik saja, mengetahui jawabannya secepatnya.
“Kak Rafael!” sahutku ketika kulihat sosok Kak Rafael yang duduk di salah satu kursi tunggu. Segera saja aku mendekatinya dan duduk di sampingnya.
“Dicky di mana?” tanyaku. Raut wajah putus asa terlihat jelas dari wajah Kak Rafael. Air mataku jatuh seketika. Aku tahu hal yang buruk telah terjadi.
“Ada cedera yang serius di kakinya. Dan harus menjalani operasi secepatnya. Sekarang operasinya sedang berlangsung.” Jelas Kak Rafael.
Aku merasa tubuhku sangat lemas. Harapanku bahwa Dicky baik-baik saja sirna seketika.
“Setelah operasi, semuanya akan baik-baik saja, kan?” tanya yang berharap sepenuh hati bahwa Kak Rafael akan mengangguk.
“Kita dengar saja penjelasan Dokter nanti..”
Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi. Dicky kecelakaan. Menjalani operasi. Operasi yang tingkat keberhasilannya rendah. Aku benar-benar takut kalau aku harus kehilangan Dicky juga. Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sangat sayangi untuk yang kedua kalinya.
Aku terus berdoa untuk Dicky. Juga membacakan Ayat Kursi dan beberapa ayat surah Yasin untuknya.
“Bagaimana dengan lombanya?” tanya Kak Rafael tiba-tiba.
“Aku rasa aku bernyanyi dengan sangat baik. Ketiga juri memberikan standing applause yang luar biasa untukku. Tapi bagaimanapun, aku bukan peserta dan aku termasuk sebagai senior. Jadi, yaa begitulah. Aku hanya dianggap sebagai penghibur saja di sana..”
Kak Rafael tersenyum. “Dapat atau tidaknya juara itu tidak penting. Yang penting itu adalah.. kau kembali bernyanyi.”
Aku mengangguk. “Aku benar-benar akan kembali, Kak. Aku tidak mau seperti ini lagi. Terlalu menyakitkan untuk tidak mengikuti kata hatiku.” Ucapku.
Kak Rafael tersenyum lagi. Ia lalu mengacak-ngacak rambutku. “Akhirnya kau benar-benar kembali menjadi Andien yang dulu.. ” Kak Rafael merentangkan kedua tangannya. “So, welcome back!”
_
Aku baru saja keluar dari musholla untuk menjalankan shalat Dhuhur. Aku merasa hatiku sudah tenang sekarang. Aku melihat Kak Rafael yang tampak sedang berbincang dengan seorang dokter di depan pintu ruang UGD. Raut wajah putus asa kembali tersirat dari wajah Kak Rafael. Apakah operasinya tak berhasil?
Aku berlari menghampiri mereka. Saat itu pulalah perbincangan mereka selesai. Sang dokter pun pamit permisi. Aku pun segera bertanya pada Kak Rafael.
“Operasinya tidak berhasil?” tanyaku yang diikuti dengan setetes air mata yang mengalir dari mataku.
“Alhamdulillah, operasinya berhasil..” jawab Kak Rafael.
Aku merasa super lega. Aku belum pernah merasa selega ini.
“Lalu, apa ada masalah? Kak Rafael terlihat putus asa..”
Kak Rafael mendesah panjang. “Operasinya memang berhasil. Tapi Dicky harus menjalani perawatan yang lebih baik lagi. Dicky harus menjalani perawatan selanjutnya di luar negri. Banyak yang cedera di tubuhnya. Sekaligus menjalani terapi karena cedera fatal pada kakinya.”
Aku kembali lemas. Itu artinya aku harus berpisah dengan Dicky. Walaupun tidak selamanya alias hanya sementara, tapi aku tetap tidak tahan. Sehari tanpa bersama Dicky saja sudah membuatku sungguh tersiksa karena rindu berat. Bagaimana dengan menjalani perawatan dan terapi di luar negri yang membutuhkan waktu berbulan-bulan itu? Ataukah mungkin lebih lama lagi? Ohh nooo..
Kak Rafael menepuk-nepuk bahuku. “Pulanglah dulu. Biarpun kau di sini, kau tetap belum bisa menengok Dicky dulu untuk hari ini.”
Aku mengangguk lemas lalu pamit pada Kak Rafael. Setelah itu barulah aku melangkahkan kakiku dengan lemas. Hari ini sungguh hari yang sangat berat untukku.
_
“Kau mau makan apa?” tanya Papa saat kami sedang makan malam bersama.
“Tidak apa-apa. Aku sebenarnya masih kenyang.” Kataku setelah mendesah panjang. Kutopang kepalaku dengan kanan kiriku. Tak ada selera sama sekali. Aku hanya menatap makananku sambil memainkan sendokku pada makanan di piringku.
“Masih kenyang atau nggak selera? Kau bisa sakit kalau tidak makan.. Kau belum makan dari pagi. Tadi pagi kau tidak makan karena buru-buru, tadi siang juga tidak, dan sekarang kau tidak makan karena masih kenyang. Memangnya kau makannya kapan?”
“Aku serius, Pa. Aku masih kenyang. Tadi pagi aku juga sempat makan roti yang dikasih Dicky..”
“Ahh, Dicky. Kau pasti tidak selera karena memikirkan Dicky, kan?” akhirnya Papa mengerti. “Sudahlah Andien.. Kau seperti ini juga tidak akan memperbaiki keadaan. Lebih baik kau cepat habiskan makananmu dan cepatlah sholat Isya. Doakan Dicky.” Papa menasehatiku.
Aku mengangguk. Lalu perlahan mulai menyantap makananku yang sudah dingin. Perlahan-lahan.
“Assalamu ‘alaikum..” sahut seseorang. Aku tahu pasti siapa itu. Dan benar saja, Acha tiba-tiba muncul dengan tas biola yang di pegangnya. “Ehh? Kakak udah pulang?” Acha tersenyum ceria padaku. Namun perlahan senyuman itu meredup ketika Acha melihat ekspresi wajahku yang terlihat jelas bahwa aku suasana hatiku sedang buruk.
“Kakak kenapa? Kok mukanya kusut gitu?” tanya Acha. Aku tidak menjawabnya. Dan Acha berusaha untuk menebak apa masalahnya. “Aku tahu!” sahut Acha tiba-tiba. “Pasti Kakak berantem lagi sama Kak Dicky!” tebaknya dengan penuh keyakinan.
Perkataan Acha tadi langsung membuatku kehilangan selera lagi. Air mataku kembali keluar. Aku pun segera berlari menuju kamarku.
“Hah? Kenapa, sih? Putus gitu aja udah nangis deras gitu. Kan pasti balikan lagi..” Acha melangkah menuju kursi meja makan dan ikut dinner sama Papa.
“Seharusnya kamu tidak menyebut Dicky dulu..” tegur Papa.
“Wahh.. Kali ini pasti sangat sulit, ya, Pa?”
“Hubungan mereka baik-baik saja. Hanya saja……siang ini Dicky kecelakaan.”
“Apa? Kak Dicky kecelakaan? Yang bener, Pa? Astagfirullah ‘al adzim..” Acha menutup mulutnya.
“Ya ampun.. aku sudah keterlaluan..” Acha tak jadi dinner dan berlari menuju kamar Kakaknya.
Tok-tok-tok
“Masuk..” sahut suara dari dalam. Acha langsung saja memutar handle pintu itu dan masuk ke kamar Kakaknya.
“Maaf ya, Kak, soal tadi. Aku nggak tahu..” Acha menunduk menyesal.
Aku mengangguk dan mengusap air mataku. “Nggak apa-apa, Cha..”
“Besok, kita jenguk Dicky sama-sama ya, Kak?”
Aku tersenyum padanya. Dan akhirnya mengangguk.
_
“Maaf..” ucap Dicky padaku saat aku selesai menceritakan padanya soal nasib lomba kemarin. “Kau terpaksa harus menggantikanku..”
Aku menggeleng. “Jangan pikirkan itu..”
“Jadi, kemarin kau bernyanyi. Pasti sesuatu telah terjadi..”
Aku mengangguk. “Ya.. Pagi-pagi sekali selesai aku sholat subuh, banyak wartawan yang desak-desakan di depan rumahku. Mereka semua ingin mewawancaraiku hanya karena masalah itu. Tadi pagi aku juga melihat banyak artikel tentangku di majalah-majalah saat aku ke toko buku tadi. ‘Andiena Hanara. Sang mantan penyanyi terkenal akhirnya kembali!'” aku menyebut salah satu judul artikel dari salah satu tabloid yang sempat kubaca. “Padahal aku hanya menggantikanmu. Itu saja. Ternyata ada seorang wartawan yang sedang ingin meliput mengenai lomba menyanyi itu kemarin. Dan akhirnya mereka dengan puasnya mengambil gambarku dan ada pula yang merekamnya dan akhirnya aku melihat diriku ketika bernyanyi tadi pagi di TV. Ahh, aku sungguh membenci mereka..” gerutuku.
“Itulah resiko menjadi seorang yang dikenal maupun hanya seorang mantan,” kata Dicky. “jadi, apa rencanamu selanjutnya?”
“Rencana? Rencana apanya? Aku hanya akan menemanimu terus sampai keberangkatanmu nanti..” jawabku.
_
“Ahh.. aku baru saja datang untuk membantumu mengepak barang-barangmu. Tapi sepertinya semuanya sudah siap..” ucapku saat melihat Dicky menutup retsleting koper yang berukuran sangat besar itu. Ia lalu meletakkan tas ranselnya di atas koper. Barulah ia mengambil tongkat atau mungkin lebih bisa dikatakan sebagai alat untuk membantunya berjalan.
You’re late, girl..” Dicky duduk di sofa yang berada di kamarnya itu. “Duduklah..” Dicky menepuk sofa itu.
Aku menurut saja.
“Kau terlihat sangat cantik hari ini. Apakah karena aku akan pergi besok dan kau sengaja berdandan secantik-cantiknya untukku? Itulah mengapa kau terlambat ke sini?”
Aku memukul lengan Dicky dengan pelan.
“Auww!” Dicky mengelus-ngelus lengannya itu. “Hey! Daerah sini masih sedikit memar, tau!”
“Siapa suruh kau menyindirku? Asal kau tahu saja, aku tidak se-feminim itu! Lagipula, aku memukulnya dengan sangat pelan!”
“Sepelan apa pun, itu tetap sakit, tahu! Dasar kau!” Dicky mengacak-acak rambutku.
“Ahh Dicky!!!” gerutuku. “Apa enaknya sih mengacak-acak rambutku?”
“Itu menyenangkan. Membuatmu kesal itu menyenangkan bagiku..” Dicky tertawa. “Come on! Hari ini adalah hari terakhir! Setelah kepergianku besok, aku sudah tidak bisa mengacak-ngacak rambutmu lagi..”
Aku mendesah. “Ya, walaupun aku tak suka kalau rambutku kau acak-acak, aku akan tetap merindukan hal itu..”
“Hahaa, kalau begitu aku memang sebaiknya mengacak-ngacak rambutmu itu sesekali mungkin..” Dicky kembali mengacak-ngecak rambutku.
“Ahh Dicky!!!”
Dicky pun berhenti melakukan hal itu. Ia malah mengambil handphone dari saku celananya dan mengacak-acak rambutku kembali. Namun kali ini ia melakukan hal itu sambil mengarahkan kamera pada kami. Dan jadilah fotoku dengan Dicky dengan keadaan Dicky yang mengacak-acak rambutku.
“Nah.. Mau kukirimkan?” Dicky melihatkan hasil foto itu.
“Ahh.. Aku terlihat jelek di foto itu!” protesku. Dicky hanya tertawa lebar.
“Berjanjilah untuk menungguku. Jangan biarkan cowok lain memegang tanganmu. Dan jangan coba-coba menerima cowok lain di hatimu selain aku. Setampan apa pun dia! Bahkan bila ia adalah Kyuhyun Super Junior sekalipun!”
“Kalau beneran Kyuhyun, aku pasti sudah langsung menerimanya tanpa pikir sedetikpun!” godaku. Tapi bukannya wajah kesal yang tampak dari wajah Dicky, hanya ekspresi tenang saja sambil memandang lukisan yang menghiasi dinding kamarnya.
“Kau tak mungkin bisa menerimanya..” yakin Dicky.
“Kenapa tak mungkin?” tanyaku.
Dicky menoleh padaku. “Karena lelaki yang kau cintai hanya aku..” katanya dengan penuh percaya diri.
“Kau terlalu PD..”
“Apa yang kukatakan tadi salah?” Dicky bertanya.
“Hm.. Tidak! Kau benar. Lelaki yang aku cinta hanya kamu. Kau benar soal itu!” kataku yang seratus persen jujur. “Karena itu kau jangan menunda-nunda kepulanganmu! Atau aku akan berpaling darimu!” ancamku.
Dicky tersenyum. “Aku berjanji. Aku akan kembali secepatnya.” Ucapnya tulus. “I promise.. trust me.”
Aku membalas senyumannya. “Janji?” aku mengulurkan tanganku padanya. Kuacungkan jari kelingkingku di hadapannya.
Pinky swear..” Dicky mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingkingku.

~Ya.. itulah malam terakhirku bersama Dicky. Malam itu hujan deras. Esoknya, ketika hari keberangkatan Dicky, hari itu juga hujan. Itulah mengapa melihat hujan menyenangkan bagiku. Aku jadi bisa mengenang saat-saatku bersama Dicky sebelum kepergiannya.
Tak terasa hujan telah berhenti. Aku rasa aku harus cepat-cepat ke Bandara. Dicky pasti sudah lama menunggu di sana. Aku pun melangkahkan kakiku menuju keluar kompleks dan segera memberhentikan taksi pertama yang lewat. Hatiku berdegup kencang saat itu. Sungguh, aku sudah sangat merindukan Dicky. Tak bersama Dicky selama hampir 2 tahun sungguh membuatku ingin memeluknya saat itu juga.
_
6 bulan kemudian..
“Tak bisakah kau lebih cepat sedikit? Ada ratusan penonton di sana yang sedang menunggu kita..” protes Dicky.
“Tenanglah.” Ucapku sambil merapikan pakaian yang kukenakan. “Nah.. Aku sudah siap sekarang! Ayo!”
Aku dan Dicky pun berjalan menyusuri lorong itu dan sampailah kami di panggung. Para penonton langsung histeris. Suasana benar-benar sangat semarak saat itu. Ratusan penonton terus menyerukan nama kami. Sudah tak sabar untuk menonton live perfomance idolanya.
Dan aku pun mulai melantunkan lagu ‘Our Memories’. Lagu yang kutulis sendiri ketika Dicky sedang menjalani perawatan di luar negri beberapa bulan lalu.
Aku dan Dicky menyanyikan lagu itu bersama. Lagu yang memang sengaja untuk duet-ku bersama Dicky.

Yeah, I’m back!

_ Thanks for who has red this story. What do you think?